Dua orang mahasiswa saya, sebut saja Hafidh dan Reza beberapa pekan lalu melakukan “ritual” ulang tahun: traktiran. Meski tanggal lahir keduanya tidak sama persis, tapi mereka cukup cerdik untuk menyiasati bengkaknya dana dengan cara patungan. Bersama teman lainnya, Ilham dan Ekky, saya diajak have lunch ke depot Slamet di kawasan Darmawangsa, Universitas Airlangga Surabaya. Sebuah rumah makan yang khusus menyajikan masakan Chinese food.
Namun yang menjadi perhatian saya, ketika sampai di depan depot Slamet, saya tidak melihat tanda-tanda bahwa yang kami kunjungi adalah sebuah depot atau rumah makan. Terlebih simbol-simbol Cina, yang selama ini selalu menjadi ciri khas rumah makan Chinese food, semisal ada sentuhan warna merah, huruf-huruf mandarin yang terpampang di dinding, atau simbol-simbol Cina lainnya. Yang tampak justru sebaliknya, bagian depan depot Slamet terkesan berantakan, bahkan sekilas mirip sebuah toko bangunan atau bengkel motor. Area parkir pun sangat sempit untuk ukuran sebuah rumah makan. Padahal begitu kami masuk, ternyata di dalam depot cukup luas, seperti halnya depot-depot yang pernah kami kunjungi. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata pelanggannya sangat banyak. Tentu bagi orang yang lewat dan tidak memiliki informasi tentang depot ini bisa jadi tidak tahu jika di situ ada depot masakan Cina yang memiliki areal cukup luas.
Membidik Kelas Menengah
Kenyataan ini tampak kontras karena secara fisik bangunan, depot ini tidak cukup baik dalam membangun brand image. Namun mengapa banyak pelanggan yang membanjiri tempat ini? Padahal persaingan di kawasan ini cukup banyak dengan produk serupa dan segmentasi sama, kelas menengah. Sebuah kelas paling potensial di Indonesia. Secara umum kelas ini menurut MarkPlus, sangat atraktif bagi existing player maupun bagi para pendatang baru. Secara spesifik MarkPlus menggambarkan kelas ini dengan tiga segmen, upper middle class, middle middle clas, dan lower middle class (Mix Marketing Communication, Februari 2012).
Segmen upper middle class merupakan innovation search, yaitu kelompok yang lebih paham dengan apa yang mereka inginkan dan antusias terhadap inovasi baru serta produk-produk unik. Sementara ketika berbelanja, cenderung selektif dan memiliki banyak pilihan. Mereka juga digambarkan selalu mencari informasi sebelum membeli. Bagi mereka, suasana di toko sangat penting ketika berbelanja.
Berbeda halnya dengan middle middle class yang digambarkan sebagai kelompok yang value conscious. Ketika memilih produk, mereka akan mencari yang terbaik untuk nilai rupiah yang dikeluarkan. Sementara saat berbelanja mereka akan ‘bekerja’ lebih keras mencari produk berkualitas yang sesuai dengan kantong mereka. Mereka akan mencari informasi lebih dahulu dan melakukan berbagai perbandingan.
Sedangkan lower middle class digambarkan sebagai functional minded. Ketika memilih produk, mereka lebih menekankan pada fitur fungsi produk dan lebih price sensitive. Sementara saat berbelanja, kelompok ini cenderung mengembangkan hubungan personal dengan penjual dan loyal berbelanja di toko tertentu yang membuat mereka betah berlama-lama di sana. Mereka juga digambarkan memanfaatkan berbagai informasi di toko.
Kesamaan dari ketiga varian segmen kelas menengah ini adalah mereka sama-sama aktif mencari informasi sebelum benar-benar mengambil keputusan untuk membeli sebuah produk.
Pelanggan seperti ini yang tampaknya menjadi bidikan depot Slamet. Lebih spesifik lagi, depot Slamet mengandalkan pelanggan setianya untuk menyampaikan informasi seputar produknya kepada teman, keluarga, kerabat, kolega, dan lain sebagainya. Tak heran, jika depot ini kurang memerhatikan pencitraan fisiknya kepada publik. Dalam komunikasi pemasaran, model seperti inilah yang disebut sebagai buzz.