RSS
 

Ada Buzz di Depot Slamet

17 Jun

foto: indonesiaoptimis.com

Dua orang mahasiswa saya, sebut saja Hafidh dan Reza beberapa pekan lalu melakukan “ritual” ulang tahun: traktiran. Meski tanggal lahir keduanya tidak sama persis, tapi mereka cukup cerdik untuk menyiasati bengkaknya dana dengan cara patungan. Bersama teman lainnya, Ilham dan Ekky, saya diajak have lunch ke depot Slamet di kawasan Darmawangsa, Universitas Airlangga Surabaya. Sebuah rumah makan yang khusus menyajikan masakan Chinese food.

Namun yang menjadi perhatian saya, ketika sampai di depan depot Slamet, saya tidak melihat tanda-tanda bahwa yang kami kunjungi adalah sebuah depot atau rumah makan. Terlebih simbol-simbol Cina, yang selama ini selalu menjadi ciri khas rumah makan Chinese food, semisal ada sentuhan warna merah, huruf-huruf mandarin yang terpampang di dinding, atau simbol-simbol Cina lainnya. Yang tampak justru sebaliknya, bagian depan depot Slamet terkesan berantakan, bahkan sekilas mirip sebuah toko bangunan atau bengkel motor. Area parkir pun sangat sempit untuk ukuran sebuah rumah makan. Padahal begitu kami masuk, ternyata di dalam depot cukup luas, seperti halnya depot-depot yang pernah kami kunjungi. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata pelanggannya sangat banyak. Tentu bagi orang yang lewat dan tidak memiliki informasi tentang depot ini bisa jadi tidak tahu jika di situ ada depot masakan Cina yang memiliki areal cukup luas.

Membidik Kelas Menengah

Kenyataan ini tampak kontras karena secara fisik bangunan, depot ini tidak cukup baik dalam membangun brand image. Namun mengapa banyak pelanggan yang membanjiri tempat ini? Padahal persaingan di kawasan ini cukup banyak dengan produk serupa dan segmentasi sama, kelas menengah. Sebuah kelas paling potensial di Indonesia. Secara umum kelas ini menurut MarkPlus, sangat atraktif bagi existing player maupun bagi para pendatang baru. Secara spesifik MarkPlus menggambarkan kelas ini dengan tiga segmen, upper middle class, middle middle clas, dan lower middle class (Mix Marketing Communication, Februari 2012).

Segmen upper middle class merupakan innovation search, yaitu kelompok yang lebih paham dengan apa yang mereka inginkan dan antusias terhadap inovasi baru serta produk-produk unik. Sementara ketika berbelanja, cenderung selektif dan memiliki banyak pilihan. Mereka juga digambarkan selalu mencari informasi sebelum membeli. Bagi mereka, suasana di toko sangat penting ketika berbelanja.

Berbeda halnya dengan middle middle class yang digambarkan sebagai kelompok yang value conscious. Ketika memilih produk, mereka akan mencari yang terbaik untuk nilai rupiah yang dikeluarkan. Sementara saat berbelanja mereka akan ‘bekerja’ lebih keras mencari produk berkualitas yang sesuai dengan kantong mereka. Mereka akan mencari informasi lebih dahulu dan melakukan berbagai perbandingan.

Sedangkan lower middle class digambarkan sebagai functional minded. Ketika memilih produk, mereka lebih menekankan pada fitur fungsi produk dan lebih price sensitive. Sementara saat berbelanja, kelompok ini cenderung mengembangkan hubungan personal dengan penjual dan loyal berbelanja di toko tertentu yang membuat mereka betah berlama-lama di sana. Mereka juga digambarkan memanfaatkan berbagai informasi di toko.

Kesamaan dari ketiga varian segmen kelas menengah ini adalah mereka sama-sama aktif mencari informasi sebelum benar-benar mengambil keputusan untuk membeli sebuah produk.

Pelanggan seperti ini yang tampaknya menjadi bidikan depot Slamet. Lebih spesifik lagi, depot Slamet mengandalkan pelanggan setianya untuk menyampaikan informasi seputar produknya kepada teman, keluarga, kerabat, kolega, dan lain sebagainya. Tak heran, jika depot ini kurang memerhatikan pencitraan fisiknya kepada publik. Dalam komunikasi pemasaran, model seperti inilah yang disebut sebagai buzz.

Mengandalkan Buzz

Secara umum, teori buzz berbicara tentang obrolan murni di tingkat pelanggan yang menular, tentang orang, barang, atau tempat. Buzz juga bisa dikatakan sebagai obrolan tentang brand (Buzz is all the word of mouth about a brand). Produsen tidak usah repot-repot membayar endorser (bintang iklan) untuk mempromosikan produknya. Karena para pelanggan setianya bekerja sendiri untuk mempromosikan produknya kepada orang-orang terdekatnya, dari mulut ke mulut, bahkan terkesan dilebih-lebihkan. Hal ini terjadi karena pelanggan merasakan kepuasan setelah menggunakan produknya. Seperti halnya, Ilham, Ekky, Hafidz, dan Reza, dengan semangat mempromosikan atau memberi informasi tentang masakan depot Slamet kepada saya, bahwa masakan di sana betul-betul lezat, tidak hanya nasi goreng yang menjadi andalan tetapi juga fuyung hai dan segala macam masakan Cina. Tentu saja, saya kemudian coba membanding-bandingkan dengan Wapo misalnya, tetapi rekomendasi Ilham dan kawan-kawan membuat saya memperoleh informasi lebih tentang depot Slamet sehingga saya memutuskan bersedia berangkat ke sana.

Kendati demikian, buzz tidak sepenuhnya memiliki dampak positif. Produsen tidak selamanya mengandalkan pelanggan setianya untuk melakukan promosi gratis secara positif. Karena selain sifat pelanggan cenderung fluktuatif, produsen harus selalu me-mantain atau mengelola pelanggannya agar tidak lari kemana-mana. Misalnya, pelayanan depot Slamet yang cenderung lama sehingga pelanggan yang pesan kerap dibuat bosan, parkir yang terlalu sempit, dan lain sebagainya. Kelemahan seperti ini akan menjadi pembicaraan negatif, terutama ketika ada pesaing yang memiliki segmentasi, target, dan positioning serupa.

Tentu kita masih ingat program Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang begitu fantastik di mata publik. Program ini berhasil membetot jutaan penonton karena buzz. Program talent show pertama kali di televisi ini benar-benar berbeda di mata publik. Sayang, produsen AFI tidak mampu me-maintain penontonnya sehingga ketika ada pesaing yang serupa, yaitu Indonesian Idol, membuat program ini tidak butuh waktu lama untuk segera gulung tikar. Hal ini karena penonton membanding-bandingkan dengan program Indonesian Idol.

Depot Slamet memang memiliki positioning yang jelas, yaitu masakan Cina muslim. Barangkali inilah yang membedakan dengan masakan Cina yang lain. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim pasti akan lebih memilih depot ini daripada depot masakan Cina lain yang tanpa di-embel-embeli muslim. Namun yang harus menjadi perhatian depot Slamet adalah ketika ada pesaing yang sama-sama menggunakan masakan Cina muslim namun pelayanan dan pencitraan yang lebih bagus, bukan tidak mungkin nasib depot Slamet mengalami hal serupa dengan AFI. Ilham, Ekky, Hafidz, dan Reza pun bisa jadi akan berpindah ke lain hati jika suatu saat mentraktir saya lagi (bahruddin).

 
8 Comments

Posted in IMC

 

Leave a Reply

 

 
  1. poerhadi

    September 2, 2012 at 1:47 am

    wih mantap tuh saya jadi ingin hunting kuliner lagi neh.
    all information about indonesia

     
    • Profile photo of bahruddin

      bahruddin

      September 13, 2012 at 8:55 pm

      he.he.he terima kasih. Selamat berhunting ria ya.. jangan lupa kabari saya setelah mencicipi makanannya, siapa tahu saya juga bisa hunting dan memporoleh inspirasinya…

       
  2. Daniel

    September 18, 2012 at 8:09 pm

    Terima kasih atas infonya. pembagian kelas menengah dan buzz merupakan informasi baru bagi saya. Informasi ini akan saya manfaatkan jika hendak membuka usaha sendiri nantinya.

     
    • Profile photo of bahruddin

      bahruddin

      September 20, 2012 at 10:30 pm

      Sama-sama… semoga bermanfaat bagi mas daniel..:)

       
  3. ardina ranti

    February 5, 2013 at 2:04 am

    Websitenya menarik, tapi saya rasa masih perlu tambahan ilustrasi dan contoh. Topik ini memang topik yang tidak pernah ada habisnya untuk dipelajari. Sekarang ini saya juga sedang mempelajari bisnis alternatif berniaga motor. Mungkin ada yang bisa bantu?

     
  4. kue ulang tahun hati

    January 14, 2016 at 6:25 am

    I’m amazed, I have to admit. Seldom do I encounter a blog that’s equally educative and interesting, and let me tell you, you have hit the nail on the head.
    The issue is something that not enough people are speaking
    intelligently about. I am very happy that I found this during my hunt for something concerning this.

     
  5. school of applied science

    October 11, 2016 at 5:14 pm

    eat well but free, really the type of student but thanks for sharing

     
  6. irmayanti

    June 6, 2017 at 9:29 am

    Terimakasih pak Informasinya. Kalau misalnya di bisnis online berarti jenis buzz ini seperti olshop rekomendasi yang menjadi viral di sosial media? atau sebuah review yang disebarkar melalui akun sosial customernya atau bagaimana pak?

     
 
Skip to toolbar