RSS
 

Archive for the ‘Komunikasi’ Category

Bahasa, Kelas, dan Kekuasaan

22 Nov

Foto: www.kejadiananeh.com

Apa yang membedakan bahasa Jawa, Jakarta (Betawi), Indonesia, Inggris, Perancis, Jepang, dan lainnya? Semua lahir dari budaya masa lalu, bahkan primitif. Namun blok kekuasaan membuat setiap bahasa memiliki kelas. Bahasa Inggris memiliki kasta paling tinggi dalam dunia internasional sehingga menjadi prasyarat yang harus dilalui oleh siapa saja yang ingin kuliah. Tak hanya kuliah di luar negeri, tapi juga dalam negeri. Paling buruk memiliki Toefl sekitar 500 jika ingin kuliah pascasarjana dalam negeri, terlebih jika melalui jalur beasiswa. Sementara untuk ke luar negeri minimal 550 atau sekitar 6.0 untuk skor Ielts. Tak sedikit yang mensyaratkan di atas itu. kampus NTU Singapura bahkan mensyaratkan skor Ielts 7.0 untuk jurusan komunikasi.

Kekuasaan Inggris yang mengkoloni ke banyak negara jajahan meninggalkan kolonisasi bahasa secara masif dan terstruktur. Bahkan untuk negara dg bahasa non-Inggris seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan negara asia tenggara lainnya, bahasa Inggris menjadi menu utama dalam urusan pendidikan dan pekerjaan.

Begitu pula bahasa Jakarta (Betawi) yang berhasil menaikkan kastanya di atas bahasa daerah lain, khususnya bagi anak muda. Menggunakan bahasa Jakarta serasa lebih keren. Giliran nonton Pojok Kampung JTV, kita akan terpingkal2 karena bahasa Jawa Surabaya tak biasa diakomodasi oleh kekuasaan melalui media sehingga membuat bahasa ini terkesan tertinggal dan “ndeso”. Ini karena selama puluhan tahun, nyaris semua film atau sinetron di media didominasi oleh bahasa Jakarta.

Bahasa adalah produk budaya. Tapi kekuasaan (pemerintah atau pemilik modal) memiliki kekuatan untuk mendominasi bahasa, yang sejatinya memiliki keunikan tersendiri sesuai dengan karakter masyarakat itu. Kekuasaanlah yang membuat bahasa menjadi tersekat-sekat dan melahirkan kelas-kelas yang berbeda: kelas utama atau kedua, elit atau ndesit, bergengsi atau kampungan.

 
 

Kerudung Istri Novanto

22 Nov

Foto: www.actual.com

Dari gegap gempita pemberitaan tentang Setya Novanto di hampir semua media mainstrem dan online, saya justru terfokus pada istri Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor yang dipanggil sebagi saksi, terkait jabatannya sebagai komisaris PT Mondialindo Graha Perdana, yang diduga terlibat kasus korupsi KTP-elektronik.

Bukan perkara seberapa besar terlibatnya dia dalam kasus yang membuat nama suaminya paling banyak disebut di media, melainkan tentang fesyen yang dipakai, dia tiba-tiba mengenakan kerudung! Ini sebenarnya fenomena lama yang terjadi di Indonesia tapi luput dari pengamatan banyak orang. Sebagian besar masyarakat yang dihadapkan pada kursi pesakitan selalu mengenakan simbol-simbol religius untuk mengoyak psikologis petugas maupun masyarakat. Bahkan seorang gembong narkoba pun ketika akan dieksekusi mati, dia mengenakan baju koko, berkopyah, mirip seorang ulama atau kiyai.

Fashion is communication. Fesyen adalah komunikasi. Pakaian apapun yang kita pakai sesungguhnya representasi komunikasi yang ingin kita bangun. Warna, bentuk, model, dan lainnya memberikan stimulus (rangsangan) kepada orang lain untuk memperoleh respon. Fesyen kerudung, jilbab, kopyah, koko, dan lainnya adalah simbol komunikasi yang merepresentasi nilai-nilai religiositas (Islam), khususnya di Indonesia. Menurut riset yang dilakukan Gallup, sebanyak 99% warga Indonesia menjadikan agama sebagai bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.  Deisti Astriani Tagor adalah salah satu dari sekian saksi atau orang yang terlibat kasus hukum yang  mengenakan simbol-simbol religius seperti kerudung saat dipanggil KPK  kemarin (20/11).

 
 

Puasa dan Smartphone

14 Jun

Ilustrasi – http://www.thebrunettediaries.com/flirtexting-facts-that-you-should-know/

 

Saat ini, teknologi komunikasi dan media semakin canggih dan perkembangannya sangat cepat. Khususnya, teknologi smartphone. Hal ini membuat kita tidak bisa duduk diam tetapi harus segera beradaptasi. Penyesuaian ini penting bukan untuk persoalan gagah-gagahan atau menaikkan citra – sekalipun smartphone telah menjelma menjadi fashion dan gaya hidup sehingga berimplikasi pada citra – tetapi untuk sebuah pemahaman komunikasi antarmanusia dan tentu saja untuk memudahkan setiap pola perilaku kita, termasuk kepada Tuhan (baca: ibadah).

Bulan puasa (Ramadhan) merupakan lumbung ibadah bagi umat Islam. Di bulan ini setiap ibadah dilipatkangandakan pahalanya. Bahkan tidur saja diganjar pahala. Karena itu, sebisa mungkin kita melaksanakan ibadah di mana saja. Hadirnya smartphone ini tentu sangat membantu kita untuk melaksanakan ibadah dengan mudah. Misalnya, jika biasanya kita mengaji dengan menggunakan mushaf alquran,maka dengan perkembangan teknologi seperti sekarang, di mana pun kita bisa mengaji tanpa harus menenteng mushaf. Kita cukup membawa smartphone yang mampu mengemas 30 juz alquran sehingga kesempatan untuk beribadah lebih mudah, dalam keadaan apapun dan di tempat mana pun.

Namun, apakah kemudahan teknologi ini in line dengan meningkatknya ibadah kita, khususnya di bulan puasa? Ternyata tidak juga. Karena dari dulu sampai sekarang, toh kita juga tidak bisa menambah jumlah khatam al quran setiap bulan puasa. Padahal, mestinya kita sangat mudah untuk meningkatkan jumlah itu. Karena kesempatan untuk mengaji jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Bahkan sebagian dari kita justru jumlah khatamnya semakin menurun. Demikian juga kemudahan dalam mendengar taushiyah melalui smartphone. Jika dulu kita hanya berkesempatan datang ke masjid atau menonton televisi, maka sekarang kita tinggal klik dan memilih taushiyah apa yang ingin kita simak dan siapa ustadznya. Ini juga tidak serta merta membuat kita rutin mengaji (menyimak) pengajian dari para kiyai atau ustadz.

Teknologi sebagai ilmu pengetahuan sejatinya adalah untuk memudahkan pekerjaan manusia. Termasuk teknologi komunikasi dan media. Namun manusialah yang menentukan apakah teknologi itu bisa dimanfaatkan dengan baik atau tidak. Penyesuaian terhadap teknologi mestinya harus dibarengi dengan pemahaman terhadap agama secara mendalam. Kiranya, pesan Albert Einstein saat ini masih sangat relevan untuk direnungkan, Religion without science is blind. Science without religion is paralyzed” (Agama tanpa ilmu adalah buta, Ilmu tanpa agama adalah lumpuh).

 
 
Skip to toolbar