Pemimpin dan Layanan STI

Setelah lumayan lama bergelut dengan teknis Sistem dan Teknologi Informasi (STI) ternyata selama itu pula kita, khususnya saya, masih belum menyadari sesuatu yang kita geluti ternyata merupakan sebuah layanan teknologi informasi (TI). Meskipun yang kita kerjakan teknis ternyata hal tersebut dipersepsi pengguna sebagai layanan yang membantu mereka. Perlu sebuah komitmen, khususnya dari manajemen tingkat atas, dalam memberikan layanan TI. Sebagai contoh kasus, apa yang dilakukan oleh Ir. H. Joko Widodo yang lahir di Surakarta, 21 Juni 1961, 51 tahun yang lalu.Tidak ada maksud apapun dalam tulisan ini yang terkait langsung dengan Joko Widodo (Jokowi), apalagi setelah beliau memenangkan putaran pertama pilkada DKI. Tulisan ini hanya melihat komitmen seorang pemimpin yang fokus pada pelayanan, yang di dalamnya terdapat layanan STI. Secara tidak sengaja, ketika ngobrol dengan mas Tyok, dia menyampaikan “punya bb pak?, saya dikirimi link pidato Jokowi didalamnya ada layanan TI”. Karena tidak pake BB, ya tidak terjadilah transfer link saat itu :), tetapi akhirnya saya mendapatkannya disini, silahkan diunduh dari alamat aslinya, server tidak mengijinkan saya mengunggah file lebih dari 5 MB :).

Layanan STI yang saya maksud dalam tayangan video pidato tersebut terkait dengan layana publik bagi masyarakat Solo, seperti KTP, perijinan, hingga peningkatan akses kesehatan dan pendidikan. Semua layanan tersebut mustahil tidak dilakukan tanpa STI, mungkin hal mudah jika hanya terkait dengan teknis aplikasi dan infrastruktur. Pada kasus ini ada mindset, culture, birokrasi, dan komitmen yang diubah. Layanan KTP yang sekian minggu hingga bulan, diubah hanya maksimal 1 jam, merupakan perubahan birokrasi sekaligus mengubah mindset pelayanan.

Pelayanan KTP (sebelum perbaikan)

Pelayanan KTP (sesudah)

Dalam konsep layanan STI, khsususnya jika mengacu kepada panduan Information Technology Infrastructure Library (ITIL) perlu ada  service change, tentu saja harus terdokumentasi, diketahui, dan dapat dibaca oleh orang yang memang berkepentingan. Pada dasarnya sebuah perubahan adalah baik, karena dapat meningkatkan layanan, menambahkan fungsi baru yang bermanfaat, mengurangi bahkan menghilangkan kesalahan, dan pasti ada peningkatkan keuntungan (benefit) bagi bisnis. Tetapi secara sadar maupun tidak, kita cenderung menolak karena dapat menimbulkan insiden, mengganggu karena sudah merasa nyaman, dan pastinya banyak penolakan. Dengan demikian maka sebuah perubahan memang harus dikelola, dan yang tidak mudah kita harus menyediakan dan membuat budaya baru. Mengelola perubahan meliputi perubahan pada aset layanan dasar dan item konfigurasi di Siklus Hidup Layanan secara keseluruhan. Terdapat 3 model mengelola perubahan (menurut ITIL, secara teknis semoaga bisa saya bahas pada tulisan berikutnya 🙂 ) yaitu:

  • Standard, prosedur mengelola perubaha telah diterima dan disepakati sebelumnya termasuk telah memperoleh persetujuan serta komitmen dari manajemen tingkat atas.
  • Emergency, sebuah prosedur yang disediakan untuk mengelola perubahan yang sangat kritis dalam memulihkan layanan tingkat tinggi atau proses untuk memperbaiki kesalahan dalam layanan STI yang berdampak sangat kritis pada bisnis.
  • Normal,  sebuah model yang harus melalui penilaian, diotorisasi, dan telah mendapat persetujuanChange Advisory Board (CAB) sebelum dilaksanakan.

Jika kita cermati isi pidato Jokowi, khususnya 10 menit pertama, tersurat dengan jelas ada komitmen bahkan untuk mengubah birokrasi sepertinya beliau menerapkan model Emergency  :D. Apabila tidak segera diubah atau diperbaiki sepertinya akan berdampak buruk bagi pemerintahannya, kejadian atau “insiden” pada masa pemerintahan sebelumnya akan terulang lagi dan akan meningkat menjadi “problem” :D, atau malah terbalik ya?, tapi sampai hari ini perubahan yang dilakukan Jokowi baik-baik saja. Pencopotan Kepala Dinas, Camat, atau Lurah yang merupakan key stakeholder dalam proses layanan pemerintah, tetapi tidak align dengan manajemen tingkat atas dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa untuk berubah kita harus berani keluar dari rutinitas. Rutinitas dalam jangka waktu lama pasti menjadi kontra produktif dengan kualitas layanan yang kita berikan. Segeralah keluar dari zona nyaman kita masing-masing dan carilah sesuatu yang baru, cari passion kita (menurut Rene Suhardono) atau buatlah breaking comfort zone (menurut Tyok).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to toolbar