Sebut saja May. Salah seroang teman saya yang berobsesi menjadi penyiar berita di sebuah stasiun televisi ternama di Indonesia. “Bagaimana menurutmu? Kira-kira diterima atau tidak?” tanyanya antusias.
“Sulit,” jawab saya singkat.
“Kenapa?” serganya.
“Karena kamu kurang menarik,” kali ini jawaban saya kedengaran ketus. Tapi raut wajah May sama sekali tak menampakkan kegelisaan atau marah saat saya menjawab seperti itu. Tentu saja karena saya adalah teman akrab May sehingga saya tahu ambang batas (threshold) kemarahannya sampai di mana. Jawaban itu tentu tidak akan saya sampaikan kepada orang lain karena bisa berakibat fatal. Bisa jadi yang bersangkutkan akan marah, bahkan menyerang balik kata-kata saya.
Pertanyaan menggelitik seperti itu juga pernah terjadi saat saya dan sejumlah mahasiswa ilmu komunikasi berkunjung ke salah satu stasiun televisi swasta di Surabaya. Salah seorang mahasiswi mengajukan pertanyaan yang hampir serupa dengan May, kepada pemandu (koordinator promosi). Sang pemandu lama terdiam dan tersenyum, selanjutnya menjawab sambil memberikan jawaban alternatif seperti ini:
“Mendingan jadi reporter sajalah mbak, karena reporter jarang di-shoot. Tidak perlu wajah cantik untuk menarik penonton”. Sebuah jawaban tidak langsung namun mudah ditebak ke arah mana maksudnya.
Spontan jawaban tersebut mengundang tawa para mahasiswa. Sementara sang penanya tersipu malu. “Kenapa? Kurang cantik ya saya?,” tanyanya polos sambil memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Sang pemandu pun hanya bisa tersenyum memperoleh pertanyaan seperti itu, tanpa harus menjawab “Ya”.