RSS
 

Yanu, Facebook, dan Konvergensi Media

15 Aug

Jumat lalu saya diajak oleh seorang teman, Achmad Yanu Aliffianto, untuk melaksanakan shalat Jumat di luar kampus. Saya pun tidak menolak atas ajakan tersebut, hitung-hitung sambil mencicipi Avanza barunya bersama teman-teman yang lain.

Di tengah perjalanan, saya bersama teman lainnya – Rico, Thomas, dan Angga (mahasiswa) – mengobrol ngalor ngidul dalam mobil yang disetir sendiri oleh Yanu. Jarak antara kampus dan masjid memang relatif dekat, kurang lebih dua kilometer, tetapi cukup digunakan untuk mengobrol dan bercanda bersama teman-teman. Di tengah asik berbincang itulah, Yanu – demikian dia biasa dipanggil – nyeletuk untuk menanyakan kenapa namanya tidak pernah tertulis dalam esai yang saya tuangkan dalam catatan facebook. Saya hanya diam dan tersenyum saja mendengar pertanyaan tersebut. Itu karena saya kenal betul siapa Yanu, seorang teman yang doyan sekali bercanda. Sehingga pertanyaan itu pun tidak perlu saya jawab.

      Facebook memang telah menjadi wadah “apa saja” bagi jutaan orang di dunia sehingga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Hingga saat ini, facebook masih menjadi perbincangan menarik di tengah hiruk pikuk masyarakat. Facebook tidak sekedar digunakan untuk menuangkan unek-unek dalam sebuah status, wall, catatan, atau sebagai galeri foto, album kenangan, dan mencari pacar tetapi juga sebagai wadah pencitraan bagi seorang pengguna, baik dalam bentuk tulisan, gambar, atau karya-karya lain. Perilaku-perilaku inilah yang kelak melahirkan sebuah pembentukan citra, positif maupun negatif

      Facebook tentu bukan satu-satunya media sosial yang familiar di masyarakat. Ada twitter, netlog, atau blog-blog yang bisa dibuat sendiri secara gratis melalui blogspot, wordpress, dan lain sebagainya. Selain itu, pembuatan website, yang notabene lebih “resmi”, juga bisa dibuat sendiri dengan harga yang relatif murah. Namun yang menarik dalam persoalan ini adalah menjadi masifnya pergeseran perilaku masyarakat akibat kehadiran media sosial seperti facebook. Masyarakat mudah menjalin hubungan sosial dengan orang lain, menuangkan ide, gagasan, karya, sampai transaksi jual beli. Semua bisa dilakukan hanya dengan hitungan detik. Sebuah lompatan teknologi komunikasi yang luar biasa!

      Facebook adalah salah satu dari produk yang lahir dari rahim konvergensi media. Pada level teknologi, konvergensi hanya dapat dimungkinkan oleh konvergensi industri, yaitu hasil dari kolaborasi antara korporasi dan telekomunikasi, media dan IT, atau gabungan antara semuanya. Dalam tataran media, konvergensi yang terjadi adalah antara broadcast (penyiaran) dan networking (jaringan) sebagai medium. Para pakar komunikasi menyebut fenomena konvergensi media ini sebagai revolusi komunikasi kedua. Maka jangan heran jika saat ini kita bisa menikmati koran atau majalah dalam bentuk media digital semisal Jawa Pos, Kompas, Republika, Media Indonesia, Tempo, dan sejumlah koran lain.

Dengan penggabungan ini, pergeseran perilaku masyarakat begitu terasa. Jika selama ini masyarakat hanya bisa menerima berita melalui televisi atau koran yang notabene dikemas oleh perusahaan media, maka saat ini setiap individu bisa menulis berita sendiri yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Inilah yang kerap disebut citizen journalism (jurnalisme sipil). Bahwa masyarakat bisa menggunakan media untuk menuangkan idealismenya, terutama dalam bentuk tulisan atau berita, tanpa bisa dikendalikan oleh para pemilik media.

Saya termasuk dari sekian juta pengguna facebook yang kerap menuangkan tulisan atau berita. Hal inilah yang kemudian membentuk citra saya dan orang yang tertulis dalam esai saya. Termasuk Yanu, teman saya.

 

foto: bahruddin

 
7 Comments

Posted in Media

 

Tahun Baru di Royal Plaza

15 Aug

Tahun Baru 2012 lalu, saya hendak menghabiskan sisa liburan di Royal Plaza Surabaya sekaligus belanja buku di Gramedia. Itu karena jatah liburan Natal dan Tahun Baru dari kantor selama seminggu nyaris tidak bisa saya nikmati. Saya harus menyelesaikan projek majalah sebuah lembaga dan branding sebuah perguruan tinggi dengan deadline yang sama, selesai sebelum Tahun Baru.

Praktis, hanya satu hari sisa liburan yang bisa saya manfaatkan, pas Tahun Baru. Sayang, istri saya menolak untuk diajak liburan dengan alasan anak kami yang berusia delapan bulan, masih terlalu kecil untuk diajak jalan-jalan dengan jarak tempuh kurang lebih 25 kilometer dari rumah, apalagi jika harus naik sepeda motor. Akhirnya, saya putuskan berangkat sendiri untuk belanja buku-buku praktis yang selama ini jarang saya koleksi.

Lagi-lagi, keputusan itu pun sempat terganjal karena sebelum berangkat, tiba-tiba seorang mahasiswa ingin berkonsultasi melalui ponsel tentang tugas Ujian Akhir Semester yang harus dikumpulkan esok hari. Bagi saya, konsultasi melalui telepon seluler tidak akan efektif, apalagi berbicara analisis iklan. Agar keputusan saya tidak mengecewakan,  saya menawarkan konsultasi di Royal Plaza dengan catatan sang mahasiswa harus membawa laptop beserta video iklan yang hendak dianalisis.

Kegalauan mahasiswa tentang iklan operator seluler yang menggunakan simbol-simbol Jawa untuk merepresentasikan masyarakat desa, melahirkan diskusi yang seru. Ada dikotomi antara desa dan kota dalam iklan tersebut. Desa digambarkan dengan sosok ndeso dan gaptek yang menggunakan logat Jawa. Sedangkan kota digambarkan dengan sosok metropolitan dan cerdas yang menggunakan logat Jakarta.

Iklan audio visual merupakan produk seni yang lahir dari rahim posmodernisme. Untuk meneguhkan nilai komersialisme, iklan selalu “bermain” dengan citra. Pembentukan citra dibangun sedemikian rupa sehingga cepat melekat di hati penonton atau calon konsumen. Ada dua proses yang harus dilalui oleh sebuah iklan agar mengena di benak masyarakat, yaitu proses ideasi dan mediasi.

Proses ideasi adalah proses pembentukan yang didasarkan pada pendistribusian ide atau nilai tertentu yang menyertai produk. Untuk menunjukkan citra bahwa operator selulernya mampu menjangkau area hingga pelosok desa, maka iklan operator seluler tersebut menggunakan ”model” masyarakat kota dan ”model” masyarakat desa. Secara tidak sadar, penyertaan label-label tersebut kemudian melekat di masyarakat. Penyertaan label-label inilah yang kerap mengundang kegalauan bagi orang yang kritis ”membaca” iklan.

Untuk melabelkan masyarakat desa, operator seluler tersebut menggunakan endorser (orang yang terlibat dalam komunikasi pemasaran sebuah produk) yang berlogat Jawa. Tentu saja, penggunaan logat Jawa tidak serta merta dihadirkan. Akan tetapi, insan kreatif periklanan terlebih dahulu mengobservasi tentang simbol-simbol apa yang biasa digunakan masyarakat dalam merepresentasikan masyarakat desa. Dan, logat Jawa menjadi simbol yang kerap digunakan masyarakat untuk merepresentasikan masyarakat desa yang kampungan, katrok, dan berpendidikan rendah. Inilah yang kemudian dijadikan sebagai alat untuk meneguhkan bahwa endorser yang berlogat Jawa mampu merepresentasi bahwa operator selulernya mampu menjangkau hingga ke pelosok desa.

Demikian pula dalam merepresentasikan masyarakat kota. Logat Jakarta (dengan segala atribut, fashion, dan aksesorisnya) dipilih sebagai simbol untuk meneguhkan bahwa endorser adalah orang kota. Dalam proses pembentukan citra, proses inilah yang disebut mediasi sosial. Bahwa proses pembentukan citra didasarkan pada cara meminjam nilai-nilai, artefak-artefak, atau budaya-budaya yang hidup dalam masyarakat.

Sedangkan dalam mediasi teknologi, pembentukan citra didasarkan pada cara meminjam kekuatan detail teknologi. Dengan teknologi barunya, sebuah operator seluler dengan canggihnya menampilkan bagaimana produknya telah menjangkau seluruh area, mulai kota hingga pelosok desa. Sebuah area yang sangat luas dan tidak semua operator seluler mampu menjangkaunya. Maka dalam hal ini, sebuah iklan telah melakukan pembenaran bahwa apa yang ditampilkan benar sebagaimana yang disampaikan.

Di sini kebenaran menjadi kabur. Ironisnya, masyarakat menjadi maklum sehingga tak ada yang protes tentang pembenaran yang dilakukan oleh perusahaan periklanan. Fakta ini tentu kontradiktif dengan aspek penting  etika periklanan, yaitu bagaimana sebuah iklan harus mencerminkan kearifan spiritual dan sosial. Mestinya, perusahaan periklanan menyadari bahwa simbol-simbol dan pelabelan-pelabelan yang digunakan tidak melukai serta tidak mendeskreditkan kelompok atau masyarakat tertentu, termasuk masyarakat Jawa.

Kegalauan inilah yang dirasakan mahasiswa saya di tengah sisa liburan di Royal Plaza. Sebuah kegalauan cerdas dan kritis tentang sebuah iklan yang mendeskreditkan masyarakat Jawa, meski dia sendiri bukan orang Jawa.

foto: loveindonesia.com

 

 

Ketika Pameran Foto Bagian dari Iklan

15 Aug

Selepas makan siang, saya bersama teman-teman kantor – Yanu, Sutikno, dan Sigit – mengunjungi pameran tunggal fotografi “Woman Expression” yang digelar oleh salah satu mahasiswa Desain Komunikasi Visual, Diaz Zulfikar Ishaq atau yang akrab dipanggil Diaz, di lantai dasar Royal Plaza Surabaya. Sebuah apresiasi pantas diberikan kepada Diaz atas keberanian dan prestasinya.

Dalam kunjungan kami, tidak banyak masukan yang kami berikan untuk karya fotonya, karena bagi kami keberanian untuk membuat kegiatan pameran tunggal fotografi di ruang publik seperti Royal Plaza adalah sebuah prestasi yang layak dibanggakan.

Namun demikian, perhatian kami justru tertuju pada pengemasan pameran yang belum dioptimalkan. Sungguh sangat disayangkan, jika sebuah karya yang bagus kurang mendapat apresiasi masyarakat hanya karena pengemasan yang kurang menarik. Artinya, betapapun bagusnya sebuah karya foto yang dipamerkan, jika tidak dikemas secara menarik, bisa jadi akan mengurangi tingkat ketertarikan masyarakat terhadap karya tersebut. Misalnya, frame foto yang terlalu minimalis, tidak adanya caption dan identitas foto, tempat kotak saran yang kurang bebas, dan beberapa elemen lainnya. Intinya bagaimana menyampaikan pesan fotografi melalui pameran sehingga mengundang banyak orang untuk datang, menikmati, bahkan membeli?

Dalam ensiklopedia bebas, pameran adalah bentuk dari media iklan yang lain dari yang lain, karena media pameran bisa merangsang terjadinya penjualan secara langsung oleh para pengunjung stand-stand pameran yang bersangkutan. Pameran merupakan satu-satunya media periklanan yang menyentuh semua panca indera: mata, telinga, lidah, hidung dan kulit.

Oleh karena merupakan bagian dari iklan, maka dalam mengemas pameran harus memahami bagaimana konsep periklanan yang bagus dan efektif. Iklan adalah bentuk dari komunikasi massa komersial yang dirancang untuk mempromosikan pemasaran suatu produk atau jasa, termasuk di dalamnya adalah suatu pesan dari lembaga, organisasi, perusahaan, bahkan individu seperti kandidat politik dan desainer.

Dalam menyusun sebuah iklan, seseorang harus mempertimbangkan unsur-unsur yang akan memperoleh perhatian terlebih dahulu dari pembaca atau penontonnya. Karena dari perhatian tersebut yang akan menentukan apakah iklan tersebut mampu memberikan dampak signifikan atau sebaliknya. Unsur-unsur yang paling lazim digunakan para perancang periklanan adalah Attention (memberikan perhatian), Interest (memiliki ketertarikan), Desire (menimbulkan kesenangan atau keinginan), dan Action  (melahirkan tindakan – mencoba, membeli, atau sekedar mencari informasi) atau yang biasa disingkat dengan AIDA. Beberapa ahli ada yang menambahi dengan satisfaction (menimbulkan kepuasan  setelah melakukan tindakan).

Dalam pameran “Woman Expression”, frame foto yang terlalu kecil bisa jadi kurang mendapat perhatian (attention) karena dipajang di areal sebesar Royal Plaza. Dia akan tenggelam oleh poster-poster besar yang terpajang di hampir semua sudut plasa. Tidak adanya caption dan identitas foto bisa mengurangi ketertarikan (interest) terhadap objek gambar, terutama bagi orang awam. Caption adalah tulisan keterangan yang mendeskripsikan gambar atau foto. Caption sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam identitas foto. Namun beberapa fotografer sengaja memisahkan untuk memberikan penekanan. Dalam identitas foto bisa dideskripsikan kapan pengambilan gambar, ukuran gambar, shutter speed dan diafragma, jenis kamera, jenis lensa, atau informasi lainnya. Identitas foto ini sangat berguna untuk share pembelajaran.

Sedangkan kotak kritik dan saran sangat penting jika ingin meningkatkan kualitas diri, khususnya dalam hal fotografi. Karena bagaimanapun juga, kritikan adalah salah satu bentuk penghargaan untk memberi tambahan ruang imajinasi, sekalipun kritik tersebut ditulis untuk menjatuhkan. Apapun kritikan atau saran, harus dijadikan sebagai sikap positif yang membangun.  Dalam komunikasi pemasaran, dibukanya kritik dan saran merupakan bagian dari kepedulian produsen terhadap keluhan-keluhan konsumen. Maka dalam sebuah pameran, pengunjung diberi ruang untuk menumpahkan keluhannya terkait kualitas produk yang dipamerkan. Karena sifatnya privacy bagi sebagian orang, kotak kritik dan saran dalam sebuah pameran sebaiknya diberi tempat yang lebih bebas untuk memberikan ruang gerak pada pengunjung sehingga leluasa menuangkan unek-uneknya tanpa harus diawasi orang lain. Kenyamanan pengunjung ini bagian dari  desire sehingga diharapkan akan melakukan tindakan (action).

Kendati demikian, standing banner atau lazim disebut x-banner yang dipajang di depan pintu masuk pameran, cukup menyita perhatian (attention) para pengunjung Royal Plaza guna menikmati pameran Diaz yang sayang untuk dilewatkan.

 

foto:komnasperempuan.or.id

* Artikel ini dimuat di SS News Edisi 01, 2012

 

 
3 Comments

Posted in IMC

 
Page 20 of 34« First...10...1819202122...30...Last »
 
Skip to toolbar