RSS
 

Hijab, Antisesis dari Film Islami

11 Mar

 

Gambar: Poster Film Hijab

 

Sabtu sore, 10 Maret 2018 pukul 14.30,  saya menonton film Hijab. Bukan di XXI atau CGV tapi di Kineforum, Dewan Kesenian Jakarta. Film yang dirilis pada 2015 lalu itu menuai kontroversi di sebagian masyarakat karena dianggap  melecehkan agama dan jauh dari nilai-nilai Islam, khususnya simbol Islam (hijab). Meskipun ketua MUI (saat itu), Din Syamsudin menyatakan bahwa film ini tidak mengandung unsur pelecehan agama, bahkan memberikan pesan moral dan dakwah sehingga layak untuk ditonton bagi masyarakat luas, tapi tetap saja tak bisa membendung pro kontra di masyarakat.

Bagi saya, boleh dikata film ini sangat jujur sekalipun bercerita tentang ketidakjujuran perempuan-perempuan berhijab kepada suaminya karena melakukan bisnis secara sembunyi-sembunyi. Film ini sebagai antitesis dari film-film Islami mainstream.

Saya tak akan membahas bisnis mereka karena sejatinya ada yang lebih menarik dari itu, yaitu dibalik hijab para perempuan. Karena memang itulah tujuan utama film ini.

Kenapa saya bilang jujur, karena film ini mengeksplorasi beragam latar belakang perempuan berhijab, jauh dari dasar hati yang selama ini ditutupi dengan kata “hidayah”.

Kisah diawali dengan cerita tiga mamah-mamah muda yang mengalami proses hijab dengan latar belakang yang beragam. Ada yang merasa terjebak, malu karena botak, atau karena paksaan suami. Mereka bertiga berteman karib dengan Anin, satu-satunya perempuan yang belum bersuami dan tak berhijab.

Film ini membantah bahwa setiap orang yang berhijab selalu disebabkan oleh peristiwa spiritual sehingga dianggap sebagai orang yang mendapat hidayah dari Allah. Perempuan suci dan jauh dari dosa. Padahal realitasnya tidak selalu. Inilah yang kerap ditutupi para perempuan di hadapan publik. Termasuk di film-film bertema islami.

Gambar : Artis Pemeran Film Hijab

 

Awalnya film ini tampak menyudutkan pengguna hijab, seolah hijab yang dipakai tak ada hubungannya dengan kedekatan dengan Tuhan. Bagi yang mengalami proses spiritual itu, tentu film ini cukup menyakitkan. Karena realitasnya memang ada yang mengalami pengalaman itu sehingga memutuskan untuk berhijab.

Tapi begitulah salah satu ciri film Hanung Bramantyo. Selalu mengangkat realitas tertentu tapi sekaligus meniadakan realitas yang lain. Tidak cover both sides dalam bahasa jurnalistik. Tapi bukankah film-film Islami selama ini hanya mengcover proses berhijab yang “baik-baik” saja? Artinya, film Hijab ini sebagai penyeimbang dari film-film Islami selama ini.

Sekalipun film ini bertema islami tapi dikemas dalam genre komedi. Cerita yang diangkat selalu serba kebetulan dan berbarengan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Kisah empat tokoh utama yang diangkat selalu mengalami problem yang sama persis. Ini yang membuat film hijab justru menjauhkan dari realitas.

Beruntung di akhir cerita, film ini cukup cerdik dalam “mengedukasi” penonton. Meskipun pengalaman berhijab dialami secara beragam dan jauh dari kesan dapat hidayah, tapi ketiga tokoh digambarkan sebagai perempuan Muslim yang nyaman dan menikmati penutup kepala mereka sebagai bagian dari ketaatan pada suami, juga pada Ilahi.

Bahkan, Anin yang awalnya tak berhijab tertular ikut berhijab meski dengan sebab yang berbeda dengan tiga temannya. Anin ingin mempersembahkan perubahannya itu kepada calon suaminya yang sangat dicintai dan akan menikah tiga bulan lagi.

Hanung cukup sadar bahwa masyarakat Indonesia mayoritas Muslim sehingga di akhir cerita, dia menekankan bahwa hijab tetap menjadi salah satu syariat Islam yang harus dijalankan oleh pemeluknya, terlepas dari pengalaman masing-masing.

Tokoh-tokoh perempuan Muslim yang terpaksa berbohong kepada suaminya karena melakukan bisnis secara sembunyi-sembunyi juga “dipaksa” untuk bertaubat karena terbukti mengakibatkan keburukan bagi kehidupan keluarga mereka. Apalagi mereka adalah perempuan berhijab.

Toh akhirnya para suami juga menyadari kesalahannya karena selama ini merasa mengekang kebebasan istrinya dan hanya boleh sebagai ibu rumah tangga saja.

Aktor dan Aktris dalam Film Hijab (muvila.com)

Film yang dibintangi oleh artis papan atas Zaskia Adya Mecca, Carissa Puteri, Tika Bravani, Natasha Rizky, Nino Fernandez, Mike Lucock, Ananda Omesh, dan Dion Wiyoko ini mungkin menjadi tidak nyaman bagi mereka yang terbiasa mengedepankan Islam dengan simbol-simbol agamanya. Juga bagi mereka yang berhijab karena pengalaman spiritualitasnya. Tapi akan sangat menghibur bagi mereka yang memperoleh pengalaman serupa dengan sang tokoh. Juga bagi mereka yang berpikiran terbuka, termasuk soal agama.

 
 

Menulis: Mengubah Dunia Tanpa Darah

16 Jan

Saya baru menyadari bila tulisan saya yang dipublish di portal media online (detik.com) 5 hari lalu sangat cepat direspon oleh masyarakat. Telah dibagikan sebanyak 515 kali.

Untuk kategori media online, baru pertama kali ini saya mengirim opini. Bersyukur langsung dimuat, setelah menunggu 2 hari pasca pengiriman. Sebelumnya saya lebih suka mengirim opini di koran dan majalah komunitas. Memang sebagian dari media cetak itu juga mempublish di media online. Tapi saya tak pernah ambil pusing untuk mengecek, berapa banyak yang membaca apalagi membagikan. Bahkan tulisan berita ringan saya yang kerap dimuat di koran Surya selama 2 tahun terakhir ini tak pernah saya lihat seberapa banyak “reader”nya di versi online-nya: tribunnews (suryaonline). Saya justru lebih suka menimang-nimang bentuk cetak dan menyimpan file versi pdf nya di folder khusus karya tulis saya.

Namun pagi ini saya tak menyangka bila tulisan opini saya yang dimuat detik.com lalu itu telah dibagikan sebanyak itu. Untuk ukuran opini atau artikel (bukan berita, apalagi gosip dan hoax), share sejumlah itu bagi saya cukup besar. Apalagi saya bukan penulis besar, bukan pejabat publik. Juga bukan potongan artis.

Tulisan tentang sesuatu yg sedang marak memang berpotensi mengundang pembaca. Seperti yang saya tulis ini. Kata kunci khofifah, gus ipul, atau pilgub jatim sedang banyak dicari orang. Tapi ini tentu berbeda dengan umpan klik (click bait), yang sengaja mengunggah tulisan untuk mendatangkan iklan daring dengan mengorbankan kualitas dan akurasi serta bergantung pada isu sensasional atau gambar-gambar yang menarik mata guna mengundang klik tayang, seperti gosip, hoax, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Makanya harus hati-hati bila menuliskannya karena siap dibaca kepala yang berbeda. Artikel yang dibagikan lebih dari 500 dlm waktu singkat ini menunjukkan bahwa “reader”nya bisa berkali-kali lipat.

Pikir saya, di tengah jutaan atau milyaran artikel dan berita yang disebar secara serentak di portal media online (dan media sosial), dibaca puluhan orang saja sudah bersyukur, apalagi sampai dibagikan sebegitu banyak. Ternyata prediksi saya ini keliru.

Keterserapan yang sangat cepat dan masif inilah yang membuat sebagian besar media cetak merepost artikel dan beritanya ke media online. Sebab, jika hanya bertengger di kertas saja, bisa jadi yang menikmati hanya pembaca (pembeli) saja. Paling banter dipinjam sama kerabat, teman, dan tetangga.

Fakta ini semakin meyakinkan saya bahwa menulis mampu mengubah dunia tanpa darah. Kalimat ini selalu saya tanamkan sejak pertama kali tulisan saya dimuat Jawa Pos pada semester awal saat kuliah S1 di Unitomo. Kemudian berturut-turut dimuat di Radar Surabaya, Kompas, dan sejumlah majalah komunitas. Tentu di tengah perjuangan untuk bisa tembus ke berbagai media massa.

Konsekuensi menulis memang kerap melahirkan pro kontra. Karena memang kita tak bisa mengakomodir harapan semua orang, yang memiliki perspektif berbeda. Karena latar belakang kita memang tak sama: ekonomi, suku, agama, budaya, pendidikan, dan lainnya. Namun, sebagai penulis kita harus punya niat untuk seminimal mungkin tak menyakiti hati orang lain sehingga kita selalu cermat dalam memilih kata dan bahasa, tanpa meninggalkan sikap kritis kita. Apalagi di era teknologi media dan komunikasi saat ini mudah sekali tulisan kita direspon secara cepat, tapi dengan perspektif yang berbeda, sengaja diplintir, digoreng, atau apapun namanya.

Menulislah sekecil apapun. Kalau tak mampu menumbus media besar, tulislah di media sosial atau blog pribadi. Syukur-syukur jika tulisan kita mampu menginspirasi dan mengubah perilaku pembaca, apalagi dunia!

Keep the spirit of writing!

 
 

Bahasa, Kelas, dan Kekuasaan

22 Nov

Foto: www.kejadiananeh.com

Apa yang membedakan bahasa Jawa, Jakarta (Betawi), Indonesia, Inggris, Perancis, Jepang, dan lainnya? Semua lahir dari budaya masa lalu, bahkan primitif. Namun blok kekuasaan membuat setiap bahasa memiliki kelas. Bahasa Inggris memiliki kasta paling tinggi dalam dunia internasional sehingga menjadi prasyarat yang harus dilalui oleh siapa saja yang ingin kuliah. Tak hanya kuliah di luar negeri, tapi juga dalam negeri. Paling buruk memiliki Toefl sekitar 500 jika ingin kuliah pascasarjana dalam negeri, terlebih jika melalui jalur beasiswa. Sementara untuk ke luar negeri minimal 550 atau sekitar 6.0 untuk skor Ielts. Tak sedikit yang mensyaratkan di atas itu. kampus NTU Singapura bahkan mensyaratkan skor Ielts 7.0 untuk jurusan komunikasi.

Kekuasaan Inggris yang mengkoloni ke banyak negara jajahan meninggalkan kolonisasi bahasa secara masif dan terstruktur. Bahkan untuk negara dg bahasa non-Inggris seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan negara asia tenggara lainnya, bahasa Inggris menjadi menu utama dalam urusan pendidikan dan pekerjaan.

Begitu pula bahasa Jakarta (Betawi) yang berhasil menaikkan kastanya di atas bahasa daerah lain, khususnya bagi anak muda. Menggunakan bahasa Jakarta serasa lebih keren. Giliran nonton Pojok Kampung JTV, kita akan terpingkal2 karena bahasa Jawa Surabaya tak biasa diakomodasi oleh kekuasaan melalui media sehingga membuat bahasa ini terkesan tertinggal dan “ndeso”. Ini karena selama puluhan tahun, nyaris semua film atau sinetron di media didominasi oleh bahasa Jakarta.

Bahasa adalah produk budaya. Tapi kekuasaan (pemerintah atau pemilik modal) memiliki kekuatan untuk mendominasi bahasa, yang sejatinya memiliki keunikan tersendiri sesuai dengan karakter masyarakat itu. Kekuasaanlah yang membuat bahasa menjadi tersekat-sekat dan melahirkan kelas-kelas yang berbeda: kelas utama atau kedua, elit atau ndesit, bergengsi atau kampungan.

 
 
Page 2 of 3412345...102030...Last »
 
Skip to toolbar