RSS
 

Archive for the ‘Sosial Agama’ Category

Perbedaan Itu

25 Jul

 

 

foto: indonesiaoptimis.com

Pukul empat pagi, selesai tahajjud, saya  mendapat pesan singkat dari seorang teman lama dari Lamongan, sebut saja Anas Ma’ruf. Isi pesan itu berbunyi, “Bismillahirrahmanirrahim. Hari ini kami sekeluarga Insya Allah mulai puasa Ramadhan. Mohon maaf lahir & bathin. Semoga kita selalu mendapat ridho Allah SWT. Amin”. Segera saya membalas pesan itu dengan bunyi, “Amien, semoga menjadi puasa yang berkah dalam Ramadhan yang penuh rahmat,”.

Teman karib saya yang sudah lama tak jumpa itu tentu yakin jika saya belum memulai puasa pada hari Jumat. Itu karena sejak lama kami sering berbeda dalam persoalan-persoalan yang bersifat furu’ (cabang-cabang) dari agama yang kami jalankan. Meski demikian, kami tidak pernah berkonflik, apalagi sampai berdarah-darah. Kami justru saling melengkapi dan menjadi akrab, seperti saudara.

Dalam mengungkap perbedaan, saya sengaja tidak menggunakan hadits yang berbunyi, “Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat”. Ini karena setelah saya telusuri dari berbagai referensi, ternyata hadits itu tidak ada sanad-nya atau tidak ada asalnya (anonim). Sedangkan dari segi matan-nya (isi), sangat bertentangan dengan banyak dalil yang menyatakan bahwa perbedaan dan perselisihan adalah keburukan, bukan rahmat.

Terkait dengan hal itu, Ibnu Hazm mengatakan bahwa jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan merupakan hal yang dibenci. Karena kemungkinan hanya dua: bersatu maka dirahmati Allah atau berselisih sehingga Allah murka (Al Ihkam fi Ushulil Ahkam). Apalagi jika merujuk pada firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 105 yang menyatakan bahwa kita dilarang menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas.  Karena mereka adalah  orang-orang yang mendapat siksa yang berat.

Oleh karena itu, untuk menyikapi sebuah perbedaan, Allah berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 59  bahwa jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah perbedaan tersebut kepada Allah (al Quran) dan Rasul (sunnah).

Kendati demikian bukan berarti kita harus lari dari perbedaan itu, karena perbedaan itu selalu ada dan berada di sekitar kita, terutama menjelang Ramadhan dan Iedul Fitri. Namun jangan sampai perbedaan-perbedaan itu justru mengeras, mengelompok, dan mengkotak-kotak sehingga bermuara pada kepentingan tertentu. Inilah yang dikhawatirkan melahirkan konflik horizontal di masyarakat dan akhirnya bercerai-berai.

Kukuh Dwi Kurniawan (2011) mengkategorikan perbedaan atau khilafiyah ini menjadi tiga, antara lain: Pertama,  khilafiyah yang sudah jelas salahnya, karena menyelisihi Qur’an dan Sunnah. Model perbedaan ini sama saja meragukan kebenaran Qur’an dan Sunnah dan ini adalah sebuah kekufuran. Maka khilafiyah seperti ini wajib diingkari, tidak boleh ditoleransi sama sekali.

Kedua, khilafiyah yang tidak menyelisihi sunnah, namun bisa ditarjih. Kadang ada perbedaan pendapat yang semuanya berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah, namun setelah diteliti oleh para ulama ternyata dalil yang dipakai ada yang kuat dan ada yang lemah. Maka dalam hal ini bisa dilakukan tarjih, yaitu memilah pendapat yang didasari pada dalil-dalil yang kuat (rajih) saja.Pada tataran ini kita wajib mengingkari pendapat yang lemah dan mengambil pendapat yang lebih rajih (kuat). Bertoleransi kepada orang yang mengamalkan pendapat yang lemah, padahal kita sudah tahu pendapat itu lemah, maka itu adalah perbuatan tercela. Kendati demikian, kita tetap tidak boleh mencela ulama yang memiliki pendapat lemah. Karena Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Bukhori, bersabda bahwa jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian berijtihad, maka jika benar ia mendapat dua pahala. Namun jika salah, baginya satu pahala.

Ketiga, khilafiyah yang tidak menyelisihi Qur’an dan Sunnah, namun tidak bisa ditarjih. Kadang ada perbedaan pendapat yang semuanya berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah dan semuanya shahih dan kuat, sehingga sulit ditarjih. Maka di sinilah baru berlaku perkataan “Sudahlah jangan saling menyalahkan, ini khan permasalahan khilafiyah. Biarlah dia melakukan apa yang dianggap benar dan kamu lakukan yang kamu anggap benar“.

Kategori khilafiyah yang ketiga inilah yang sering terjadi di sekitar kita. Dalam konteks khilafiyah ini, kita tidak boleh mencela pendapat yang lain, karena ia berdasarkan dalil yang shahih juga. Kita wajib menghargai pendapat yang berbeda, saling bertoleransi, dan boleh mengambil salah satu pendapat yang diyakini kebenarannya.

Demikian pula perbedaan saya dengan Anas, yang saling menghargai dan saling bertoleransi hingga sekarang, meski Anas puasa Jumat dan saya puasa Sabtu. Selamat berpuasa, semoga berkah!

 
 

Polisi, Kasman, dan Preman

04 Oct

Ini adalah cerita dari seorang teman, sebut saja Kasman. Dia  membuka usaha jasa lembaga bimbingan belajar di sebuah kota kecil, sebut saja kota Kariano. Untuk memperlancar usahanya, Kasman telah melakukan tetek bengek yang berkaitan dengan urusan administratif. Terakhir, tentu saja dia ingin usahanya aman dan nyaman. Karena itu, kantor kepolosian menjadi jujugannya.

Sayang, niat Kasman untuk meminta bantuan polisi agar terlindungi dari kejahatan malah berbuah pahit. Wajah Kasman yang awalnya sumringah tiba-tiba berubah menjadi suram. Jawaban pihak kepolisian justru menyisakan kekecewaan yang mendalam. Polisi yang mestinya bertugas untuk mengayomi warganya, malah menciptakan kecemasan bagi Kasman.

“Kamu mau aman kan?” tanya seorang polisi saat Kasman baru saja menghadap.

“Benar pak, terutama untuk keamanan kendaraan para siswa,” jawab Kasman dengan sumringah.

“Ya sudah, kamu milih preman kecil atau preman besar?” tanya petugas yang berbadan tambur itu enteng. Sementara Kasman hanya bisa melongo dan tidak paham apa yang dikatakan sang polisi.’ Polisi koq malah dibantu preman?’ batin Kasman.

“Maksud Bapak?” tanya Kasman balik. Darahnya mulai mendidih.

“Lho, koq tanya lagi. Kamu mau preman besar atau preman kecil? Masak kurang jelas?” sang polisi menegaskan pertanyaannya kembali.

“Kenapa harus preman pak?” Kasman mulai hilang keseimbangan

“Begini mas, jika kamu pakai preman kecil, setiap hari kamu wajib menyetor beberapa peser uang. Gak besar koq,” jelas polisi enteng. “Nah kalau pakai preman besar, kamu cukup menyetor setiap bulan sekali. Besarannya tergantung nego kamu sama dia,” lanjut sang polisi. Kali ini sambil menuliskan alamat preman yang dikatakan besar itu.

“Pak, apa gak ada cara lain?”  Laki-laki berusia 35 tahun itu mulai memberanikan diri

“Kamu ini sudah dikasih tau malah mbantah,” bentak sang polisi. “Kalau tempat usahamu ingin aman, kamu harus mengikuti aturan,” lanjut polisi, kali ini lebih keras.

Kasman akhirnya pulang dengan wajah muram dan menyisakan beribu pertanyaan. Ya, Kasman memang bukan warga asli Kariano sehingga dia tidak paham dengan keadaan kota ini.

Kasman, saya ucapakan “Selamat Datang” di kota kecil yang cukup dikenal namun kejam ini. Sebuah kota yang cukup masyhur tapi sebenarnya hancur…

 
 

Ramadhan dalam Dimensi Komunikasi Intrapersonal

12 Aug


Berbeda dengan bulan lainnya, Ramadhan merupakan bulan yang setiap gerak dan perbuatan melahirkan ibadah. Bahkan tidur pun diganjar pahala.

Dalam Hadist yang diriwayatkan Baihaqy dari kitabnya Su’abul Iman, dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah bersabda bahwa diamnya seorang yang sedang berpuasa merupakan tasbih, tidurnya adalah ibadah, doanya dikabulkan, dan amalan baiknya dilipatgandakan.

Tak heran bila kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh seluruh umat Islam di dunia.  Selain  puasa, sebagian besar umat Islam memanfaatkan waktunya untuk melakukan ibadah-ibadah lain seperti shalat tarawih, tadarrus quran, sadaqah, zakat, dan lain sebagainya. Ibadah-ibadah tersebut tidak hanya mudah dijumpai di masjid-masjid dan mushalla-mushalla, tetapi juga kerap dijumpai di di kantor-kantor,  bus,  pasar, serta di tempat-tempat publik  lainnya.

Fenomena yang tak lazim dilakukan di bulan selain Ramadhan itu adalah wujud dari intensitas seseorang dalam melakukan  komunikasi intrapersonal. Jenis komunikasi intrapersonal merupakan keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari pesan-pesan. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan. Komunikasi intrapersonal dapat menjadi pemicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pengetahuan mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan kesadaran (awareness) terjadi saat berlangsungnya komunikasi intrapersonal oleh komunikator.

Read the rest of this entry »

 
 
 
Skip to toolbar