Tahun Baru 2012 lalu, saya hendak menghabiskan sisa liburan di Royal Plaza Surabaya sekaligus belanja buku di Gramedia. Itu karena jatah liburan Natal dan Tahun Baru dari kantor selama seminggu nyaris tidak bisa saya nikmati. Saya harus menyelesaikan projek majalah sebuah lembaga dan branding sebuah perguruan tinggi dengan deadline yang sama, selesai sebelum Tahun Baru.
Praktis, hanya satu hari sisa liburan yang bisa saya manfaatkan, pas Tahun Baru. Sayang, istri saya menolak untuk diajak liburan dengan alasan anak kami yang berusia delapan bulan, masih terlalu kecil untuk diajak jalan-jalan dengan jarak tempuh kurang lebih 25 kilometer dari rumah, apalagi jika harus naik sepeda motor. Akhirnya, saya putuskan berangkat sendiri untuk belanja buku-buku praktis yang selama ini jarang saya koleksi.
Lagi-lagi, keputusan itu pun sempat terganjal karena sebelum berangkat, tiba-tiba seorang mahasiswa ingin berkonsultasi melalui ponsel tentang tugas Ujian Akhir Semester yang harus dikumpulkan esok hari. Bagi saya, konsultasi melalui telepon seluler tidak akan efektif, apalagi berbicara analisis iklan. Agar keputusan saya tidak mengecewakan, saya menawarkan konsultasi di Royal Plaza dengan catatan sang mahasiswa harus membawa laptop beserta video iklan yang hendak dianalisis.
Kegalauan mahasiswa tentang iklan operator seluler yang menggunakan simbol-simbol Jawa untuk merepresentasikan masyarakat desa, melahirkan diskusi yang seru. Ada dikotomi antara desa dan kota dalam iklan tersebut. Desa digambarkan dengan sosok ndeso dan gaptek yang menggunakan logat Jawa. Sedangkan kota digambarkan dengan sosok metropolitan dan cerdas yang menggunakan logat Jakarta.
Iklan audio visual merupakan produk seni yang lahir dari rahim posmodernisme. Untuk meneguhkan nilai komersialisme, iklan selalu “bermain” dengan citra. Pembentukan citra dibangun sedemikian rupa sehingga cepat melekat di hati penonton atau calon konsumen. Ada dua proses yang harus dilalui oleh sebuah iklan agar mengena di benak masyarakat, yaitu proses ideasi dan mediasi.
Proses ideasi adalah proses pembentukan yang didasarkan pada pendistribusian ide atau nilai tertentu yang menyertai produk. Untuk menunjukkan citra bahwa operator selulernya mampu menjangkau area hingga pelosok desa, maka iklan operator seluler tersebut menggunakan ”model” masyarakat kota dan ”model” masyarakat desa. Secara tidak sadar, penyertaan label-label tersebut kemudian melekat di masyarakat. Penyertaan label-label inilah yang kerap mengundang kegalauan bagi orang yang kritis ”membaca” iklan.
Untuk melabelkan masyarakat desa, operator seluler tersebut menggunakan endorser (orang yang terlibat dalam komunikasi pemasaran sebuah produk) yang berlogat Jawa. Tentu saja, penggunaan logat Jawa tidak serta merta dihadirkan. Akan tetapi, insan kreatif periklanan terlebih dahulu mengobservasi tentang simbol-simbol apa yang biasa digunakan masyarakat dalam merepresentasikan masyarakat desa. Dan, logat Jawa menjadi simbol yang kerap digunakan masyarakat untuk merepresentasikan masyarakat desa yang kampungan, katrok, dan berpendidikan rendah. Inilah yang kemudian dijadikan sebagai alat untuk meneguhkan bahwa endorser yang berlogat Jawa mampu merepresentasi bahwa operator selulernya mampu menjangkau hingga ke pelosok desa.
Demikian pula dalam merepresentasikan masyarakat kota. Logat Jakarta (dengan segala atribut, fashion, dan aksesorisnya) dipilih sebagai simbol untuk meneguhkan bahwa endorser adalah orang kota. Dalam proses pembentukan citra, proses inilah yang disebut mediasi sosial. Bahwa proses pembentukan citra didasarkan pada cara meminjam nilai-nilai, artefak-artefak, atau budaya-budaya yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan dalam mediasi teknologi, pembentukan citra didasarkan pada cara meminjam kekuatan detail teknologi. Dengan teknologi barunya, sebuah operator seluler dengan canggihnya menampilkan bagaimana produknya telah menjangkau seluruh area, mulai kota hingga pelosok desa. Sebuah area yang sangat luas dan tidak semua operator seluler mampu menjangkaunya. Maka dalam hal ini, sebuah iklan telah melakukan pembenaran bahwa apa yang ditampilkan benar sebagaimana yang disampaikan.
Di sini kebenaran menjadi kabur. Ironisnya, masyarakat menjadi maklum sehingga tak ada yang protes tentang pembenaran yang dilakukan oleh perusahaan periklanan. Fakta ini tentu kontradiktif dengan aspek penting etika periklanan, yaitu bagaimana sebuah iklan harus mencerminkan kearifan spiritual dan sosial. Mestinya, perusahaan periklanan menyadari bahwa simbol-simbol dan pelabelan-pelabelan yang digunakan tidak melukai serta tidak mendeskreditkan kelompok atau masyarakat tertentu, termasuk masyarakat Jawa.
Kegalauan inilah yang dirasakan mahasiswa saya di tengah sisa liburan di Royal Plaza. Sebuah kegalauan cerdas dan kritis tentang sebuah iklan yang mendeskreditkan masyarakat Jawa, meski dia sendiri bukan orang Jawa.