Di tengah ramainya isu Islam radikal di Indonesia, Selasa (13/3) lalu saya nonton film bertema islami “Bid’ah Cinta” yang digelar oleh kineforum. Sebuah komunitas film Dewan Kesenian Jakarta. Film ini dirilis 2017 lalu. Yang menarik, film Bid’ah cinta cukup berani memotret realitas masyarakat yang selama ini takut disuarakan. Utamanya dalam film-film bertema Islam.
Latar belakang pendidikan pesantren dari seorang Nurman Hakim, penulis sekaligus sutradara, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam mendefinisikan identitas Islam di film ini.
Situasi masyarakat yang pro kontra soal bid’ah, hadirnya transgender di masyarakat, penyanyi dangdut jalanan, dan sub-subordinat lainnya adalah sederet sang liyan yang dinarasikan secara “vulgar” oleh Nurman.
Film ini menjadi antitesis dari film-film islami mainstream. Kendati demikian, Nurman cukup pintar dalam mencover dua sisi yang bersebrangan. Ini yang tak banyak dilakukan oleh sutradara lain.
Dia cukup khawatir dengan paham-paham Islam radikal yang belakangan semakin masif di tengah masyarakat. Tapi dia juga tak mau mereka disebut sebagai bagian dari peristiwa-peristiwa terorisme.
Nurman juga mengkritisi umat Islam kultural yang tidak peduli dan kurang mampu memberdayakan masjid sehingga jangan salahkan jika kekosongan itu diisi oleh Islam radikal. Mereka yang memahami Islam secara skriptual.
Banyak faktor yang ditampilkan Nurman dalam melihat gejala Islam radikal di masyarakat. Mulai dari kelemahan srcara finansial hingga masalah psikologis dan politik. Faktor-faktor inilah yg kerap mengantarkan seseorang untuk bergabung dalam kelompok Islam radikal.
Namun sekali lagi, sebagaimana film-film Nurman sebelumnya, Dia selalu membawa pesan damai, melindungi sang liyan, dan mencoba mengembalikan Islam Indonesia yang sebenarnya. Identitas Islam yang berbasis kultural.
Sayang, hampir semua film Nurman Hakim selalu tidak mampu menyedot khalayak banyak untuk menonton, termasuk Bid’ah Cinta. Barangkali Nurman harus sedikit berdamai dengan selera khalayak, mulai jadi penggunaan judul yang cenderung menimbulkan konfrontasi, hingga durasi film yang terlalu panjang. Karena lamanya durasi film yang tidak diimbangi dengan ketegangan atau konflik yang masif akan membosankan bagi penonton. Karena bagaimanapun bagusnya sebuah film jika hanya sedikit menerpa khalayak, maka menjadi hal yang percuma. Apalagi jika film Islam mainstream kian produktif dan digandrungi banyak penonton.