Jumat lalu saya diajak oleh seorang teman, Achmad Yanu Aliffianto, untuk melaksanakan shalat Jumat di luar kampus. Saya pun tidak menolak atas ajakan tersebut, hitung-hitung sambil mencicipi Avanza barunya bersama teman-teman yang lain.
Di tengah perjalanan, saya bersama teman lainnya – Rico, Thomas, dan Angga (mahasiswa) – mengobrol ngalor ngidul dalam mobil yang disetir sendiri oleh Yanu. Jarak antara kampus dan masjid memang relatif dekat, kurang lebih dua kilometer, tetapi cukup digunakan untuk mengobrol dan bercanda bersama teman-teman. Di tengah asik berbincang itulah, Yanu – demikian dia biasa dipanggil – nyeletuk untuk menanyakan kenapa namanya tidak pernah tertulis dalam esai yang saya tuangkan dalam catatan facebook. Saya hanya diam dan tersenyum saja mendengar pertanyaan tersebut. Itu karena saya kenal betul siapa Yanu, seorang teman yang doyan sekali bercanda. Sehingga pertanyaan itu pun tidak perlu saya jawab.
Facebook memang telah menjadi wadah “apa saja” bagi jutaan orang di dunia sehingga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Hingga saat ini, facebook masih menjadi perbincangan menarik di tengah hiruk pikuk masyarakat. Facebook tidak sekedar digunakan untuk menuangkan unek-unek dalam sebuah status, wall, catatan, atau sebagai galeri foto, album kenangan, dan mencari pacar tetapi juga sebagai wadah pencitraan bagi seorang pengguna, baik dalam bentuk tulisan, gambar, atau karya-karya lain. Perilaku-perilaku inilah yang kelak melahirkan sebuah pembentukan citra, positif maupun negatif
Facebook tentu bukan satu-satunya media sosial yang familiar di masyarakat. Ada twitter, netlog, atau blog-blog yang bisa dibuat sendiri secara gratis melalui blogspot, wordpress, dan lain sebagainya. Selain itu, pembuatan website, yang notabene lebih “resmi”, juga bisa dibuat sendiri dengan harga yang relatif murah. Namun yang menarik dalam persoalan ini adalah menjadi masifnya pergeseran perilaku masyarakat akibat kehadiran media sosial seperti facebook. Masyarakat mudah menjalin hubungan sosial dengan orang lain, menuangkan ide, gagasan, karya, sampai transaksi jual beli. Semua bisa dilakukan hanya dengan hitungan detik. Sebuah lompatan teknologi komunikasi yang luar biasa!
Facebook adalah salah satu dari produk yang lahir dari rahim konvergensi media. Pada level teknologi, konvergensi hanya dapat dimungkinkan oleh konvergensi industri, yaitu hasil dari kolaborasi antara korporasi dan telekomunikasi, media dan IT, atau gabungan antara semuanya. Dalam tataran media, konvergensi yang terjadi adalah antara broadcast (penyiaran) dan networking (jaringan) sebagai medium. Para pakar komunikasi menyebut fenomena konvergensi media ini sebagai revolusi komunikasi kedua. Maka jangan heran jika saat ini kita bisa menikmati koran atau majalah dalam bentuk media digital semisal Jawa Pos, Kompas, Republika, Media Indonesia, Tempo, dan sejumlah koran lain.
Dengan penggabungan ini, pergeseran perilaku masyarakat begitu terasa. Jika selama ini masyarakat hanya bisa menerima berita melalui televisi atau koran yang notabene dikemas oleh perusahaan media, maka saat ini setiap individu bisa menulis berita sendiri yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Inilah yang kerap disebut citizen journalism (jurnalisme sipil). Bahwa masyarakat bisa menggunakan media untuk menuangkan idealismenya, terutama dalam bentuk tulisan atau berita, tanpa bisa dikendalikan oleh para pemilik media.
Saya termasuk dari sekian juta pengguna facebook yang kerap menuangkan tulisan atau berita. Hal inilah yang kemudian membentuk citra saya dan orang yang tertulis dalam esai saya. Termasuk Yanu, teman saya.
foto: bahruddin