Pukul empat pagi, selesai tahajjud, saya mendapat pesan singkat dari seorang teman lama dari Lamongan, sebut saja Anas Ma’ruf. Isi pesan itu berbunyi, “Bismillahirrahmanirrahim. Hari ini kami sekeluarga Insya Allah mulai puasa Ramadhan. Mohon maaf lahir & bathin. Semoga kita selalu mendapat ridho Allah SWT. Amin”. Segera saya membalas pesan itu dengan bunyi, “Amien, semoga menjadi puasa yang berkah dalam Ramadhan yang penuh rahmat,”.
Teman karib saya yang sudah lama tak jumpa itu tentu yakin jika saya belum memulai puasa pada hari Jumat. Itu karena sejak lama kami sering berbeda dalam persoalan-persoalan yang bersifat furu’ (cabang-cabang) dari agama yang kami jalankan. Meski demikian, kami tidak pernah berkonflik, apalagi sampai berdarah-darah. Kami justru saling melengkapi dan menjadi akrab, seperti saudara.
Dalam mengungkap perbedaan, saya sengaja tidak menggunakan hadits yang berbunyi, “Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat”. Ini karena setelah saya telusuri dari berbagai referensi, ternyata hadits itu tidak ada sanad-nya atau tidak ada asalnya (anonim). Sedangkan dari segi matan-nya (isi), sangat bertentangan dengan banyak dalil yang menyatakan bahwa perbedaan dan perselisihan adalah keburukan, bukan rahmat.
Terkait dengan hal itu, Ibnu Hazm mengatakan bahwa jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan merupakan hal yang dibenci. Karena kemungkinan hanya dua: bersatu maka dirahmati Allah atau berselisih sehingga Allah murka (Al Ihkam fi Ushulil Ahkam). Apalagi jika merujuk pada firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 105 yang menyatakan bahwa kita dilarang menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas. Karena mereka adalah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.
Oleh karena itu, untuk menyikapi sebuah perbedaan, Allah berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 59 bahwa jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah perbedaan tersebut kepada Allah (al Quran) dan Rasul (sunnah).
Kendati demikian bukan berarti kita harus lari dari perbedaan itu, karena perbedaan itu selalu ada dan berada di sekitar kita, terutama menjelang Ramadhan dan Iedul Fitri. Namun jangan sampai perbedaan-perbedaan itu justru mengeras, mengelompok, dan mengkotak-kotak sehingga bermuara pada kepentingan tertentu. Inilah yang dikhawatirkan melahirkan konflik horizontal di masyarakat dan akhirnya bercerai-berai.
Kukuh Dwi Kurniawan (2011) mengkategorikan perbedaan atau khilafiyah ini menjadi tiga, antara lain: Pertama, khilafiyah yang sudah jelas salahnya, karena menyelisihi Qur’an dan Sunnah. Model perbedaan ini sama saja meragukan kebenaran Qur’an dan Sunnah dan ini adalah sebuah kekufuran. Maka khilafiyah seperti ini wajib diingkari, tidak boleh ditoleransi sama sekali.
Kedua, khilafiyah yang tidak menyelisihi sunnah, namun bisa ditarjih. Kadang ada perbedaan pendapat yang semuanya berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah, namun setelah diteliti oleh para ulama ternyata dalil yang dipakai ada yang kuat dan ada yang lemah. Maka dalam hal ini bisa dilakukan tarjih, yaitu memilah pendapat yang didasari pada dalil-dalil yang kuat (rajih) saja.Pada tataran ini kita wajib mengingkari pendapat yang lemah dan mengambil pendapat yang lebih rajih (kuat). Bertoleransi kepada orang yang mengamalkan pendapat yang lemah, padahal kita sudah tahu pendapat itu lemah, maka itu adalah perbuatan tercela. Kendati demikian, kita tetap tidak boleh mencela ulama yang memiliki pendapat lemah. Karena Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Bukhori, bersabda bahwa jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian berijtihad, maka jika benar ia mendapat dua pahala. Namun jika salah, baginya satu pahala.
Ketiga, khilafiyah yang tidak menyelisihi Qur’an dan Sunnah, namun tidak bisa ditarjih. Kadang ada perbedaan pendapat yang semuanya berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah dan semuanya shahih dan kuat, sehingga sulit ditarjih. Maka di sinilah baru berlaku perkataan “Sudahlah jangan saling menyalahkan, ini khan permasalahan khilafiyah. Biarlah dia melakukan apa yang dianggap benar dan kamu lakukan yang kamu anggap benar“.
Kategori khilafiyah yang ketiga inilah yang sering terjadi di sekitar kita. Dalam konteks khilafiyah ini, kita tidak boleh mencela pendapat yang lain, karena ia berdasarkan dalil yang shahih juga. Kita wajib menghargai pendapat yang berbeda, saling bertoleransi, dan boleh mengambil salah satu pendapat yang diyakini kebenarannya.
Demikian pula perbedaan saya dengan Anas, yang saling menghargai dan saling bertoleransi hingga sekarang, meski Anas puasa Jumat dan saya puasa Sabtu. Selamat berpuasa, semoga berkah!