Menurut studi kasus yang dilakukan oleh Standish Group, 80 persen pengembangan IT gagal, karena tim proyek hanya berfokus pada teknologi dan melupakan untuk mempertimbangkan pengaruhnya terhadap manusia dan proses.
Tiap kali bisnis memperkenalkan teknologi baru, maka perubahan organisasi akan terjadi. Perubahan organisasi akan mengganggu, bahkan akan mengacaukan kerja sehari-hari staf, dan gelombang kejut ini akan menjalar dengan cepat keseluruh organisasi.
Hasil dari pendekatan yang hanya berfokus pada teknologi membuat inisiatif IT gagal diimplementasikan. Pada tahun 1995, studi dari Gartner Group, menunjukkan bahwa inisiatif perubahan teknologi kebanyakan akan mengalami kegagalan ketika dihadapkan pada resistansi manusia (pengguna). Teknologi mungkin terbaik dari yang terbaik, namun ia akan tak berguna dan mahal biaya yang harus dibayar, jika pekerja tak pernah dapat (atau berkemauan) menggunakannya. Biaya dari hardware dan software yang tak terpakai ini, akan semakin bertambah bila dampaknya dikaitkan dengan berkurangnya produktivitas dan kehilangan oportuniti dari pasar.
Karenanya ketika pada saat awal sebuah proyek IT dimulai, kita harus mengetahui status yang ada pada infrastruktur organisasi, dengan melakukan evaluasi terhadap 8 pilar organisasi, yaitu:
- Manusia
- Kepemimpinan.
- Budaya Kerja.
- Kesiapan staf individual.
- Proses
- Proses Bisnis.
- Proses Pengembangan Solusi.
- Proses Operasional.
- Teknologi
Sistem informasi secara fundamental merupakan suatu sistem socio-technical, dimana pada sistem informasi, faktor manusia, sosial, dan organisasi adalah sama pentingnya dengan teknologi. Jadi bukanlah berlebihan, bila dikatakan bahwa sistem informasi terdiri dari multi disiplin ilmu, yang antara lain, terdiri dari sistem informasi, teknologi informasi, ilmu yang berkaitan dengan proses bisnis organisasi terkait, edukasi, psikologi, organisasi (change organizational), komunikasi, dan sosiologi. Interaksi antara sistem informasi dan disiplin yang lain, dengan sebagian ilmu sosial (Klein, Hirschheim & Nissen, 1991; Landry & Banville, 1992) dan dalam pengembangan sistem (Dahlbom & Mathiassen, 1995) telah banyak diketahui. Pembelajaran antar disiplin ilmu, yang menjebatani kemanusiaan dan ilmu sosial, merupakan salah satu bagian yang mendasari arah pengembangan intelektual di Eropa sejak pertengahan abad ke 20, termasuk critical theory, postmodernism, feminist theory, dan studi budaya (Agger, 1998:10).
Selain tuntutan terhadap pengembangan kurikulum sistem informasi, agar dapat mencakup multi disiplin ilmu yang telah disebutkan di atas, terjadi pula tuntutan terhadap kebutuhan akan metode penelitian yang lebih tepat, daripada paham positip (positivism) yang telah dianut selama ini, sehingga dapat menangkap imajinasi filosofi, imajinasi teori sosial, dan imajinasi sistem. Namun untuk dapat mengulas hal ini lebih lanjut, ada baiknya bila kita melakukan kilas balik terlebih dahulu, dimulai dengan definisi pengetahuan hingga terbentuknya pemikiran untuk melakukan perubahan terhadap paham positip yang dianut dalam melakukan penelitian selama ini.
Definisi Pengetahuan
Pengetahuan telah menjadi suatu bagian yang terintegrasi dari kehidupan manusia.Yunani membagi pengetahuan menjadi 2 tipe, yaitu doxa (suatu hal yang diyakini benar), dan episteme (suatu hal yang diketahui benar). Ilmu pengetahuan berusaha untuk mentransformasikan doxa ke episteme. Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat mengetahui bahwa sesuatu itu benar.
Pengetahuan bukan sesuatu yang sempurna tapi kondisional; ia merupakan suatu konvensi komunitas sosial (societal) dan relatif terhadap waktu dan tempat. Suatu hal dapat dianggap / diakui sebagai pengetahuan bila telah diterima oleh komunitas sosialnya.
Cara Mendapatkan Pengetahuan
Berbicara tentang bagaimana cara pengetahuan didapatkan, lebih berpolemik daripada definisi pengetahuan itu sendiri. Hal ini terjadi, karena pengetahuan yang dicari, akan berdasarkan pada pengetahuan pendahulu sebagai dasar referensinya, dan pengetahuan dasar ini adalah hasil dari persetujuan / konvensi, yang berkaitan dengan norma-norma sosial, harapan, nilai-nilai, dan hal lainnya dari komunitas sosial dimana ia berasal.
Secara konseptual, hal ini tak lebih dari pencarian untuk memahami sesuatu, dengan menggunakan alat bantu, teknik, dan pendekatan tertentu yang dianggap cocok untuk subyek tertentu yang menjadi pokok permasalahan, dan hal inilah yang untuk kemudian dinamakan sebagai ilmu pengetahuan.
Berikut ini adalah definisi ilmu pengetahuan yang dirumuskan oleh Snyder (1978): “Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dilakukan orang. Ia bukan sekumpulan teori, tapi sekumpulan aktivitas yang akan atau tak akan menghasilkan teori-teori yang terorganisasi.” Berdasarkan definisi ini, dapat disimpulkan bahwa bila suatu proses telah dipertimbangkan secara menyeluruh dan dianggap cocok, maka ia dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
Di Barat, untuk mengatakan sesuatu adalah ilmu pengetahuan harus menggunakan sekumpulan konvensi yang disetujui bersama – the scientific method, yaitu manifestasi konsepsi positip dari ilmu / studi (positive science) dan memiliki sejarah panjang dalam menyediakan pemahaman natural yang dapat diterima. Pengikut paham positip ini, akan meneliti suatu subyek penelitian dengan menggunakan uji coba, dalam rangka melakukan pencarian aturan-aturan dan relasi-relasi klausa dari padanya, sehingga dapat diajukan sebagai suatu ilmu pengetahuan.
5 Pilar Paham Positip (Positivism)
Paham posisip terdiri dari 5 pilar, yaitu:
- Metode keilmuan (the scientific method) yang sama, yang berarti bahwa hanya ada satu pendekatan yang telah diterima bersama untuk akusisi pengetahuan yang valid untuk semua bentuk penelitian, tidak peduli pada domain studinya, apakah berkaitan dengan kehidupan manusia, binatang atau tumbuhan; fenomena fisik atau non fisik.
- Pencarian relasi-relasi dasar (klausa) Humean, yang merefleksikan keinginan mendalam untuk menemukan aturan dan relasi-relasi klausa diantara elemen-elemen studi.
- Percaya pada paham empiris, adalah kepercayaan yang kuat pada anggapan bahwa data yang dianggap valid adalah hanya data yang diteliti secara logika. Hal ini berkaitan dengan aturan paham fenomena (the rule of phenomenalism), dimana hal-hal yang di luar logika penelitian, persepsi subyektif, dan sejenisnya, tidak diperhitungkan.
- Ilmu pengetahuan dan prosesnya adalah bebas dari nilai-nilai, yang merefleksikan kepercayaan bahwa tidak ada nilai intrinsik dalam ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai politis, ideologis, atau keyakinan moral. Hal ini merupakan suatu proses pemisahan fakta-fakta dari nilai-nilai.
- Dasar ilmu pengetahuan adalah logika dan matematika, yang menyediakan suatu bahasa universal dan basis formal bagi analisa kuantitatif, sebagai alat bantu utama dalam mencari relasi klausa. Hal ini berkaitan dengan aturan paham nominalisasi (the rule of nominalism), yang menyatakan bahwa kata-kata, generalisasi, abstraksi, dan fenomena linguistik lainnya tidak memberikan pendekatan baru pada dunia.
Paham Positip (Positivism) vs Paham Interpretasi (Interpretivism)
Paham positip adalah paham yang berdasarkan pada basis ontologikal (dimana ontologi direferensikan pada alam sekitar kita; yang merupakan sebagian dari realita yang dipilih dan diarahkan oleh ilmuwan sebagai subyek penelitiannya) dari paham realis (realism), yang berarti bahwa realitas yang ada tidak tergantung pada pengamat (Landry & Banville, 1992; Darke, Shanks & Broadbent, 1998; Myers & Avison, 2002). Hal ini bertolak belakang dengan paham interpretasi, yang melihat bahwa realitas adalah suatu hasil dari konstruksi sosial, atau paling tidak, pengetahuan kita terhadap suatu realitas adalah suatu hasil konstruksi secara sosial (Walsham, 1995; Orlikowski & Baroudi 1991), atau diperkuat melalui konstruksi sosial (Klein & Myers, 1999).
Tujuan penelitian dari pengikut paham positip adalah untuk menemukan suatu pernyataan benar, yang dapat menjelaskan realitas yang ada secara obyektif. Sedangkan pada paham interpretasi, bertujuan untuk memahami situasi dan memberikan penjelasan yang dapat diterima dan dipercaya terhadap pemahaman bersangkutan.
Bila paham positip mencoba untuk menjelaskan hukum-hukum yang dapat digunakan untuk prediksi, dengan menggunakan metode kuantitatif, sedangkan paham interpretasi melihat pada kontek dan kejadian-kejadian yang tercatat, dengan harapan dapat mengekstraksi makna dan melogikakannya, biasanya menggunakan metode kuantitatif (Trauth & Jessup, 2000; Schultze & Leidner, 2002; Lee & Baskerville, 2003). Dalam rangka mencapai tujuan ini, paham interpretasi sangat bergantung pada 2 filosofi tradisional, yaitu hermeneutics dan phenomenology (Lee, 1991).
Phenomenology
Tujuan dari phenomenology adalah untuk membuka batasan-batasan filosofi yang ada dan kembali ke hal-hal itu sendiri serta menemukan esensinya. Dasar dari phenomenology adalah persepsi dan kesadaran. phenomenology menolak pemisahan subyek dan obyek, karena subyek yang membuat obyek ada, fenomena, tanpa subyek maka tak akan ada obyek. Hal ini berarti bahwa phenomenology didasari atas keberadaan kita di dunia (suatu hal yang oleh Heidegger disebut sebagai “Dasein” – “being in the world”), dan percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang obyektif di luar keberadaan manusia (Dreyfus, 1993; Introna, 1997; Stuart 2002).
Hermeneutics
Pada awalnya hermeneutics adalah suatu cara dalam memahami teks. Dalam rangka untuk memahami teks, pembaca harus telah memiliki suatu pemahaman yang cukup sebelumnya terhadap hal-hal yang terkait dengan apa yang dibaca. Pembaca harus dapat mengantisipasi teks dan hasil akan pembacaan merefleksikan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca. Tujuan hermeneutics tak hanya mencakup perbedaan antara penulis dan pembaca, namun lebih daripada itu untuk membuatnya eksplisit, memperlihatkan alasan-alasan dalam memahami suatu teks (Klein & Myers, 1999).
Perkembangan hermeneutics kemudian, adalah bertujuan untuk memahami dan melogikakan aksi-aksi orang lain (Myers & Avison, 2002; Lee, 1994). Dalam rangka memahami aksi orang lain, sangat dibutuhkan pemahaman terhadap motif mereka, yang berarti harus ada kesamaan dasar terhadap suatu makna antara peneliti dan obyek yang diteliti. Jika deklarasi atau aksi obyek berdasarkan pada suatu makna yang sangat asing bagi peneliti, maka tidak akan ada pemahaman, dan tak akan ada pula kemungkinan terjadinya proses hermeneutics.
Interpretivism
Berdasarkan pada pengertian phenomenology dan hermeneutics yang mendasari paham interpretasi, dapat dikatakan bahwa penelitian interpretasi berfokus pada makna-makna dan konstruksi sosial makna-makna tersebut. Penganut interpretasi mencari esensi dari fenomena, dan mereka mengerti bahwa fenomena terjadi karena persepsi, yang harus dilihat sebagai konstruksi dari manusia yang ada di dunia, yang telah berada dalam situasi-situasi dan hidup dalam suatu kehidupan pada batasan-batasan tertentu. Penganut interpretasi tidak bertujuan untuk menjelaskan dunia dalam bentuk pernyataan-pernyataan hukum, namun untuk memahaminya dengan menjelaskan motif-motif dan dunia kehidupan subyek.
Oleh sebab itu, saya pribadi berpendapat bahwa paham interpretasi memang tepat digunakan sebagai paham yang mendasari penelitian-penelitian di area Sistem Informasi yang bersifat socio-technical ini. Dimana paham positif yang terbukti tepat untuk penelitian ilmu alam, tidak dapat diaplikasikan pada penelitian ilmu sosial, yang berfokus pada aksi-aksi manusia, dan manusia tidak mengikuti hukum alam, karena manusia memiliki akal dan nurani, yang dapat digunakan untuk berpikir dan menentukan nasib mereka sendiri.
Sistem Informasi suatu organisasi tidak dapat diperlakukan sama dengan ilmu alam (yang dapat dijelaskan dengan pernyataan-pernyataan hukum). Sistem Informasi suatu organisasi merupakan kompilasi teori dan praktik dari pihak-pihak yang terkait langsung pada Sistem Informasi tersebut (seperti pihak manajemen organisasi), dan tentunya telah mengalami berbagai penyesuaian (adaptasi) berdasarkan pada situasi dan kondisi serta perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada suatu organisasi (misalnya budaya kerja, proses bisnis, kode etik, kemampuan sumber daya, budaya daerah, peraturan pemerintah, dan hal-hal lainnya yang terkait). Hal-hal inilah yang menyebabkan manajemen tiap organisasi, walaupun bergerak di bidang yang sama, adalah unik.
Peneliti Sistem Informasi harus memiliki pemahaman terhadap Sistem Informasi yang ditelitinya. Pemahaman yang dimaksudkan di sini, tidak hanya terbatas pada studi literatur (pemahaman abstrak), namun lebih daripada itu, peneliti harus memiliki pengalaman praktis dengan terjun ke dalam dunia dimana sistem itu berada (dimana hal ini oleh Husserl dinyatakan dengan “embodied being-in-the life-world”), sehingga peneliti dapat merasakan dan menyelami kehidupan nyata, dimana sistem itu berada, dalam mendapatkan pemahaman terhadap makna yang esensial dari penerapan suatu Sistem Informasi.
Sebagai contoh, pada sistem rekam medik elektronik (EMR-Electronic Medical Record) yang dalam perkembangannya banyak mengalami kendala dari pengguna utama mereka, yaitu Dokter. Permasalahan ini banyak sekali terjadi terutama pada praktik di Rumah Sakit, namun tidak demikian halnya dengan praktik pribadi. Bila saja peneliti Sistem Informasi tidak terjun secara langsung ke dunia kedokteran, maka akan kecil kemungkinan permasalahan ini dapat dipecahkan.
Benarkah kendala yang terjadi hanya karena kemalasan dokter, seperti yang selama ini banyak dikeluhkan? Saya rasa tidak sepenuhnya demikian, karena bisa jadi permasalahannya adalah kerena perasaan takut terhadap ketergantungan hidup profesi dokter pada Sistem Informasi (berkaitan dengan masalah keamanan data), dimana rekam medik pasien akan menjadi bukti benar atau tidaknya tindakan seorang dokter kepada pasiennya, bilamana terjadi masalah atau tuntutan dari pasien atau keluarga pasien. Selain itu permasalahan yang lain adalah keberadaan hukum di Indonesia yang masih belum mencakup bukti-bukti berbasis elektronik, masih berdasarkan pada bukti tertulis.
Jadi pembahasan Sistem Informasi tidaklah hanya dapat dicakup dengan teknologi saja. Walaupun teknologi menawarkan banyak hal yang baik, misalnya otomatisasi, namun tidak semua proses bisnis dapat seenaknya diotomasikan. Masih terdapat hal-hal lain yang masih perlu diperhatikan (seperti kode etik, hukum, psikologi, sosial dan budaya) dalam memahami suatu Sistem Informasi.
Referensi:
- Darke, P.; Shanks, G. & Broadbent, M. (1998). Successfully Completing Case Study Research: Combining Rigour, Relevance and Pragmatism. Information Systems Journal (8), 273 – 289
- Dreyfus, H. L. (1993). What Computers Still Ca n’t Do. Cambridge, Massachusetts / London: MIT Press
- Introna, L. (1997). Management, Information and Power: A narrative of the involved manager. London: MacMillan
- Orlikowski, W. J. & Baroudi, J. J. (1991). Studying Information Technology in Organizations: Research Approaches and Assumptions. Information Systems Research (2:1), 1 – 28
- Klein, H. K. & Myers, M. D. (1999). A Set of Principles for Conducting and Evaluating Interpretive Field Studies in Information Systems. MIS Quarterly (23:1), 67 – 94
- Landry, M. & Banville, C. (1992). A Disciplined Methodological Pluralism for MIS Research. Accounting, Management & Information Technology (2:2), 77 – 92
- Lee, A. (1991). Integrating Positivist and Interpretive Approaches to Organizational Research. Organization Science (2:4), 342 – 365
- Lee, A. (1994). Electronic Mail as a Medium for Rich Communication: An Empirical Investigation Using Hermeneutic Interpretation. MIS Quarterly (18:2), 143 – 157
- Lee, A. S & Baskerville, R. L. (2003): Generalizing Generalizability in Information Systems Research. Information Systems Research (14:3), 221 – 243
- Myers, M., D & Avison, D. (2002). An Introduction to Qualitative Research in Information Systems. Qualitative Research in Information Systems: a Reader. (eds. Myers, M. D. & Avison, D.), pp. 3 – 12, London et al.: Sage
- Schultze, U. & Leidner, D. (2002). Studying Knowledge Management in Information Systems Research: Discourses and Theoretical Assumptions. MIS Quarterly (26:3), 213 – 242
- Snyder, P., Toward One Science (1978). The Convergence of Traditions, St. Martin’s Press: New York
- Stuart, S. (2002). A Radical Notion of Embeddedness: A Logically Necessary Precondition for Agency and Self-Awareness. Metaphilosophy (33:1/2), Special Issue: Cyberphilosophy: TheIntersection of Philosophy and Computing. Edited by J.H. Moor and T.W. Bynum, 98 – 109
- Trauth, E. M & Jessup, L. M. (2000): Understanding Computer-Mediated Discussions: Positivist and Interpretive Analyses of Group Support System Use. MIS Quarterly (24:1), 43 – 79
Walsham, G. (1995). Interpretive Case Studies in IS Research: Nature and Method. European Journal of Information Systems 4, 74 – 81
[ROM]
thanks infonya
pehaman yang di beri dari postingan ini sangat mudah di pahami oleh pemula pemula atau pun tidak , terima kasih atas postingannya mantap
sangat lengkap dan mudah di mengerti. mksh atas artikelnya