RSS
 

Menulis: Mengubah Dunia Tanpa Darah

16 Jan

Saya baru menyadari bila tulisan saya yang dipublish di portal media online (detik.com) 5 hari lalu sangat cepat direspon oleh masyarakat. Telah dibagikan sebanyak 515 kali.

Untuk kategori media online, baru pertama kali ini saya mengirim opini. Bersyukur langsung dimuat, setelah menunggu 2 hari pasca pengiriman. Sebelumnya saya lebih suka mengirim opini di koran dan majalah komunitas. Memang sebagian dari media cetak itu juga mempublish di media online. Tapi saya tak pernah ambil pusing untuk mengecek, berapa banyak yang membaca apalagi membagikan. Bahkan tulisan berita ringan saya yang kerap dimuat di koran Surya selama 2 tahun terakhir ini tak pernah saya lihat seberapa banyak “reader”nya di versi online-nya: tribunnews (suryaonline). Saya justru lebih suka menimang-nimang bentuk cetak dan menyimpan file versi pdf nya di folder khusus karya tulis saya.

Namun pagi ini saya tak menyangka bila tulisan opini saya yang dimuat detik.com lalu itu telah dibagikan sebanyak itu. Untuk ukuran opini atau artikel (bukan berita, apalagi gosip dan hoax), share sejumlah itu bagi saya cukup besar. Apalagi saya bukan penulis besar, bukan pejabat publik. Juga bukan potongan artis.

Tulisan tentang sesuatu yg sedang marak memang berpotensi mengundang pembaca. Seperti yang saya tulis ini. Kata kunci khofifah, gus ipul, atau pilgub jatim sedang banyak dicari orang. Tapi ini tentu berbeda dengan umpan klik (click bait), yang sengaja mengunggah tulisan untuk mendatangkan iklan daring dengan mengorbankan kualitas dan akurasi serta bergantung pada isu sensasional atau gambar-gambar yang menarik mata guna mengundang klik tayang, seperti gosip, hoax, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Makanya harus hati-hati bila menuliskannya karena siap dibaca kepala yang berbeda. Artikel yang dibagikan lebih dari 500 dlm waktu singkat ini menunjukkan bahwa “reader”nya bisa berkali-kali lipat.

Pikir saya, di tengah jutaan atau milyaran artikel dan berita yang disebar secara serentak di portal media online (dan media sosial), dibaca puluhan orang saja sudah bersyukur, apalagi sampai dibagikan sebegitu banyak. Ternyata prediksi saya ini keliru.

Keterserapan yang sangat cepat dan masif inilah yang membuat sebagian besar media cetak merepost artikel dan beritanya ke media online. Sebab, jika hanya bertengger di kertas saja, bisa jadi yang menikmati hanya pembaca (pembeli) saja. Paling banter dipinjam sama kerabat, teman, dan tetangga.

Fakta ini semakin meyakinkan saya bahwa menulis mampu mengubah dunia tanpa darah. Kalimat ini selalu saya tanamkan sejak pertama kali tulisan saya dimuat Jawa Pos pada semester awal saat kuliah S1 di Unitomo. Kemudian berturut-turut dimuat di Radar Surabaya, Kompas, dan sejumlah majalah komunitas. Tentu di tengah perjuangan untuk bisa tembus ke berbagai media massa.

Konsekuensi menulis memang kerap melahirkan pro kontra. Karena memang kita tak bisa mengakomodir harapan semua orang, yang memiliki perspektif berbeda. Karena latar belakang kita memang tak sama: ekonomi, suku, agama, budaya, pendidikan, dan lainnya. Namun, sebagai penulis kita harus punya niat untuk seminimal mungkin tak menyakiti hati orang lain sehingga kita selalu cermat dalam memilih kata dan bahasa, tanpa meninggalkan sikap kritis kita. Apalagi di era teknologi media dan komunikasi saat ini mudah sekali tulisan kita direspon secara cepat, tapi dengan perspektif yang berbeda, sengaja diplintir, digoreng, atau apapun namanya.

Menulislah sekecil apapun. Kalau tak mampu menumbus media besar, tulislah di media sosial atau blog pribadi. Syukur-syukur jika tulisan kita mampu menginspirasi dan mengubah perilaku pembaca, apalagi dunia!

Keep the spirit of writing!

 
 

Leave a Reply

 

 
 
Skip to toolbar