Sering kita dengar kata berdamai…berdamai dengan alam, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan perlakuan orang lain dan berdamai…berdamai dengan topic dan fokus yang lain.
Kata berdamai menjadi sesuatu yang hanya mudah disampaikan di bibir yang konon memang tidak bertulang. Namun jika kita berkenan mundur sejenak mencoba menemukan makna dibalik makna maka kita akan ketemu dengan ketenangan dan kedamaian itu sendiri.
Suatu ketika pernah diceritakan tentang seorang Orang Bijak dengan seorang ibu yang kesulitan berdamai dengan keadaan yang sedang dia hadapi, berikut kira-kira isi percakapan mereka :
Ibu : Wahai Orang Bijak, saya sangat mendengar tentang keahlianmu dalam banyak hal, termasuk menyembuhkan orang yang memiliki penyakit kronis “sakit hati”
Orang Bijak : apa yang bisa saya lakukan untuk ibu ?
Ibu: begini, beberapa hari yang lalu saya kehilangan anak semata wayang yang sangat saya kasihi dan harap-harapkan untuk masa depan keluarga Namun anakku meninggal karena penyakit ganas. Saya yakin kamu pasti dapat mengembalikan anakku seperti sedia kala, karena tanpa kehadiran anakku, dunia serasa runtuh.
Orang Bijak: Ibu…itu hak nya Tuhan untuk membuat makhluknya hidup panjang umur ataupun meninggal dan kembali kepadaNya.
Ibu: (dengan tetap ngeyel dan tidak mau kalah) Percuma saja kamu disebut Orang Bijak, kalau hanya mengembalikan orang yang sudah mati saja kamu tidak mampu. Kamu dengan sengaja ingin membiarkan saya dan keluarga menderita sepanjang masa, atau kamu bahkan ingin dengan sengaja membunuhku pelan-pelan, karena penderitaanku yang amat dalam, bahkan di dunia ini hanya aku saja yg menderita seperti ini.
Orang Bijak: baiklah kalau maumu seperti itu, ada syaratnya, Ibu harus meminta satu sendok garam dapur kepada 5 orang yang semasa hidupnya tidak pernah memiliki sanak saudara/ kerabat yang meninggal dunia.
Ibu: baik…kalau saratnya itu, saya yakin saya dapat memenuhinya.
Pergilah si Ibu itu ke perkampungan terdekat, dan memulai aksinya, tak lama dia dapat menemukan seorang bapak
Ibu: Bapak bisakah saya meminta garam dapur, namun sebelum Bapak memberikannya padaku, saya ingin bertanya ‘apakah Bapak memiliki keluarga/ kerabat yang telah meninggal dunia”
Orang1 (bapak) : Saya memiliki garam, dan saya juga pernah memiliki keluarga yang meninggal dunia. Satu tahun yang lalu istri saya meninggal karena serangan jantung mendadak. Hidup saya berubah tanpa dia, namun hidup tetap harus berjalan. Saya sudah mulai dapat berdamai dengan keadaan saya. Dan kini kenangan bersama istri saya membuat hidup saya semakin hidup
Akhirnya batal sudah si Ibu mendapatkan garam yang dia butuhkan, perjalanan dia lanjutkan sampai bertemu dengan seseorang yang lain.
Ibu : Mbak bisakah saya meminta garam dapur, namun sebelum Mbak memberikannya padaku, saya ingin bertanya ‘apakah Mbak memiliki keluarga/ kerabat yang telah meninggal dunia”
Orang2 (mbak) : Ibu butuh garam seberapa banyak ? saya memilikinya. Mengenai keluarga atau kerabat, saya pernah kehilangan seseorang yang sangat saya sayangi. Saya memiliki calon suami yang akan segera meminang saya, namun karena suatu tugas perdamaian di suatu daerah rawan konflik, akhirnya calon suami saya meninggal karena peluru nyasar. Dan beliau meninggal di tempat kejadian. Cukup lama saya harus belajar untuk melupakan kejadian itu dan belajar untuk berdamai, hingga pada akhirnya waktu dan niat diri yang kuat akhirnya saya dapat menerima kenyataan itu.
Semakin gamang perasaan si ibu, namun dia tetep melanjutkan perjuangannya, sampai pada akhirnya dia bertemu dengan gadis kecil di depan sebuah rumah mungil.
Ibu: Nak bisakah ibu meminta garam dapur, namun sebelum kamu memberikannya padaku, Ibu ingin bertanya ‘apakah kamu memiliki keluarga/ kerabat yang telah meninggal dunia”
Anak kecil : mendadak dia menangis, sambil berkata-kata dengan tersengguk-sengguk, saya tidak memiliki garam ibu, dan saya juga tidak memiliki keluarga lagi, sejak sebulan yang lalu, bapak ibu dan kakak-kakak saya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang merenggut nyama mereka. saya sangat kesusahan dan kini saya hidup sebatang kara yang hanya bisa berharap belas kasih orang lain. Tapi saya yakin Tuhan maha pengasih dan penyayang.
Si Ibu mendadak tersentak dan menyadari kekeliruannya selama ini. Kembalilah si Ibu ke Orang Bijak sambil mengatakan.
Ibu : saya mengurungkan niat saya untuk meminta anakku hidup kembali, saya harus belajar untuk berdamai dengan keadaan, meskipun itu butuh waktu dan keikhlasan hati. Di luar sana, banyak orang yang merasakan kehilangan seperti saya dan tidak jarang lebih menderita dari saya.
==== berdamai itu mudah, butuh niatan dari hati yang paling dalam, sedikit susah ketika kita belum menyadari hal ini, namun semua itu akan terjawab dengan bergulirnya waktu===
Selamat belajar berdamai dengan keadaan dan orang lain, sama halnya dengan saya yang masih harus terus belajar untuk berdamai 🙂