TOP

2,5 Kg Membawa Do’a Tulus dan Ikhlas

Bicara tentang 2,5 kg maka dalam benak kita adalah ukuran/ berat beras untuk zakat fitrah seseorang yang wajib dikeluarkan untuk 1 tahun. Namun 2,5 Kg yang saya maksud adalah model pembelajaran yang digunakan oleh seorang ibu untuk mengajarkan anakknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dalam menghargai semangat seseorang, berbagi, empaty terhadap kehidupan orang lain, dan belajar memandang kehidupan dari sudut pandang yang lain. Singkat cerita sang ibu memiliki jadwal khusus ketika perjalanan mengantar anaknya sekolah di pagi hari, pada hari senin dan selasa dia  membawa satu kantong beras 2,5 Kg yang digantung di sepeda motor, kemudian sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah anaknya, sang ibu meminta anaknya untuk memilih seseorang yang pagi itu terlihat sudah aktif melakukan karyanya (pekerjaannya) dan secara fisik orang tersebut tergolong orang yang kurang mampu dan di usia senja yang harusnya sudah pensiun dan istirahat di rumah namun mereka harus sudah mengawali kegiatan mencari nafkah.

Diawal aktifitas ini sang anak bingung mengapa dia harus melakukan hal itu dan memilih-milih orang sesuai kriteria yang di syaratkan sang ibu, namun setelah kegiatan ini berlangsung satu bulan akhirnya sang anak menyadari dan menjadikan kegiatan itu sebagai rutinitas yang harus dia lakukan.

Tulisan ini mencoba menguraikan apa yang terjadi dalam pembelajaran tersebut. Awal pertama kegiatan ini sang anak memilih penjual kacang. Kita simak pembicaraan singkat mereka.
Sang Anak berkata sambil memberikan sebungkus 2,5 Kg sambil mengatakan “ Mbah….ini buat masak di rumah ya…” Si Mbah tampak bingung dan pada akhirnya menerima bungkusan tersebut  sambil menjawab “oh…matur nuwun nak, mugo-mugo tambah pinter, jadi juara kelas, banyak rejeki, panjang umur, sehat” si anak manggut manggut sambil meng”amini” do’a-do’a si mbah tersebut.

 

Dihari berikutnya sang anak memilih seorang bapak penjual samiler (kripik dari bahan singkong). Pak….ini ada satu bungkus untuk bapak dan keluarga. Bapak penjual samiler dengan tanggap langsung menerima dan menyampaikan pengharapan serta doa untuk anak tersebut. “Terimakasih nak semoga banyak rejeki ya, naik kelas, nilainya bagus, diberi kesehatan sama Allah dan panjang umur”

Kegiatan tersebut berlangsung dengan berbagai macam bapak, ibu, si mbah yang lain yang anak jumpai di jalan, ada pengumpul sampah daur ulang, pasukan bersih-bersih jalan raya, penjual jajanan dan yang lain, yang kesemua sudah masuk dalam usia senja.

Terbersit rasa haru terhadap pengharapan dan do’a-do’a yang dipanjatkan oleh mereka untuk sang anak. Buat kita 2,5 Kg hampir sama dengan biaya percakapan kita dengan HP untuk beberapa menit saja, atau sebanding dengan biaya kita sekali makan, bahkan lebih murah jika kita bandingkan dengan tiket 21, artinya bahwa 2,5 Kg buat kita tidak begitu berarti, namun akan sangat berbeda makna ketika 2,5 Kg tersebut kita transfer kepada orang yang lebih membutuhkan. Dari sisi hasil terhadap pembelajaran bagi anak, cara tersebut benar-benar membuat seorang anak tergugah dan menimbulkan kepekaan sosial terhadap sesama, menghargai semangat pagi untuk berkarya tanpa mengenal lelah. Dan yang terpenting kita mendapatkan do’a do’a yang tulus ikhlas dari para penerima 2,5 Kg.

Read More
TOP

Berdamai itu mudah, susah dan butuh waktu

Sering kita dengar kata berdamai…berdamai dengan alam, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan perlakuan orang lain dan berdamai…berdamai dengan topic dan fokus yang  lain.

Kata berdamai menjadi sesuatu yang hanya mudah disampaikan di bibir yang konon memang tidak bertulang. Namun jika kita berkenan mundur sejenak mencoba menemukan makna dibalik makna maka kita akan ketemu dengan ketenangan dan kedamaian itu sendiri.

Suatu ketika pernah diceritakan tentang seorang Orang Bijak dengan seorang ibu yang kesulitan berdamai dengan keadaan yang sedang dia hadapi, berikut kira-kira isi percakapan mereka :

Ibu : Wahai Orang Bijak, saya sangat mendengar tentang keahlianmu dalam banyak hal, termasuk menyembuhkan orang yang memiliki penyakit kronis “sakit hati”

Orang Bijak : apa yang bisa saya lakukan untuk ibu ?

Ibu: begini, beberapa hari yang lalu saya kehilangan anak semata wayang yang sangat saya kasihi dan harap-harapkan untuk masa depan keluarga Namun anakku  meninggal karena penyakit ganas. Saya yakin kamu pasti dapat mengembalikan anakku seperti sedia kala, karena tanpa kehadiran anakku, dunia serasa runtuh.

Orang Bijak: Ibu…itu hak nya Tuhan untuk membuat makhluknya hidup panjang umur ataupun meninggal dan kembali kepadaNya.

Ibu: (dengan tetap ngeyel dan tidak mau kalah) Percuma saja kamu disebut Orang Bijak, kalau hanya mengembalikan orang yang sudah mati saja kamu tidak mampu. Kamu dengan sengaja ingin membiarkan saya dan keluarga menderita sepanjang masa, atau kamu bahkan ingin dengan sengaja membunuhku pelan-pelan, karena penderitaanku yang amat dalam, bahkan di dunia ini hanya aku saja yg menderita seperti ini.

Orang Bijak: baiklah kalau maumu seperti itu, ada syaratnya, Ibu harus meminta satu sendok garam dapur kepada  5 orang yang semasa hidupnya tidak pernah memiliki sanak saudara/ kerabat yang meninggal dunia.

Ibu: baik…kalau saratnya itu, saya yakin saya dapat memenuhinya.

Pergilah si Ibu itu ke perkampungan terdekat, dan memulai aksinya, tak lama dia dapat menemukan seorang bapak

Ibu: Bapak bisakah saya meminta garam dapur, namun sebelum Bapak memberikannya padaku, saya ingin bertanya ‘apakah Bapak memiliki keluarga/ kerabat yang telah meninggal dunia”

Orang1 (bapak) : Saya memiliki garam, dan saya juga pernah memiliki keluarga yang meninggal dunia. Satu tahun yang lalu istri saya meninggal karena serangan jantung mendadak. Hidup saya berubah tanpa dia, namun hidup tetap harus berjalan. Saya sudah mulai dapat berdamai dengan keadaan saya. Dan kini kenangan bersama istri saya membuat hidup saya semakin hidup

Akhirnya batal sudah si Ibu mendapatkan garam yang dia butuhkan, perjalanan dia lanjutkan sampai bertemu dengan seseorang yang lain.

Ibu : Mbak bisakah saya meminta garam dapur, namun sebelum Mbak memberikannya padaku, saya ingin bertanya ‘apakah Mbak memiliki keluarga/ kerabat yang telah meninggal dunia”

Orang2 (mbak) : Ibu butuh garam seberapa banyak ? saya memilikinya. Mengenai keluarga atau kerabat, saya pernah kehilangan seseorang yang sangat saya sayangi. Saya memiliki calon suami yang akan segera meminang saya, namun karena suatu tugas perdamaian di suatu daerah rawan konflik, akhirnya calon suami saya meninggal karena peluru nyasar. Dan beliau meninggal di tempat kejadian. Cukup lama saya harus belajar untuk melupakan kejadian itu dan belajar untuk berdamai, hingga pada akhirnya waktu dan niat diri yang kuat akhirnya saya dapat menerima kenyataan itu.

Semakin gamang perasaan si ibu, namun dia tetep melanjutkan perjuangannya, sampai pada akhirnya dia bertemu dengan gadis kecil di depan sebuah rumah mungil.

Ibu: Nak bisakah ibu meminta garam dapur, namun sebelum kamu memberikannya padaku, Ibu ingin bertanya ‘apakah kamu memiliki keluarga/ kerabat yang telah meninggal dunia”

Anak kecil : mendadak dia menangis, sambil berkata-kata dengan tersengguk-sengguk, saya tidak memiliki garam ibu, dan saya juga tidak memiliki keluarga lagi, sejak sebulan yang lalu, bapak ibu dan kakak-kakak saya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang merenggut nyama mereka. saya sangat kesusahan dan kini saya hidup sebatang kara yang hanya bisa berharap belas kasih orang lain. Tapi saya yakin Tuhan maha pengasih dan penyayang.

Si Ibu mendadak tersentak dan menyadari kekeliruannya selama ini. Kembalilah si Ibu ke Orang Bijak sambil mengatakan.

Ibu : saya mengurungkan niat saya untuk meminta anakku hidup kembali, saya harus belajar untuk berdamai dengan keadaan, meskipun itu butuh waktu dan keikhlasan hati. Di luar sana, banyak orang yang merasakan kehilangan seperti saya dan tidak jarang lebih menderita dari saya.

==== berdamai itu mudah, butuh niatan dari hati yang paling dalam, sedikit susah ketika kita belum menyadari hal ini, namun semua itu akan terjawab dengan bergulirnya waktu===

Selamat belajar berdamai dengan keadaan dan orang lain, sama halnya dengan saya yang masih harus terus belajar untuk berdamai 🙂

 

 

 

Read More
TOP

Belajar dari Alexander Agung

“Kalian adalah Pemenang”

Perjuangan Alexander Agung dalam rangka menaklukan kerajaan Persia ini jika kita lihat dari sudut pandang organisasi adalah suatu upaya membangun manusia-manusia menjadi Pemenang.

Diceritakan oleh sebuah buku bahwa dalam kelelahan yang luar biasa Alexander Agung berdiri gagah di atas tanah lapang. Dikumpulkannya prajuritnya yang masih tersisa. “Di tanah Axios ini, para dewa berdiri dibelakang kita” Alexander berkata lantang kepada para prajuritnya. Ditatapnya wajah para prajuritnya sembari berkata “Atas Nama Dewa, aku memimpin kalian menuju kejayaan dan kekayaan yang lebih besar yang tidak pernah dicapai oleh siapapun di bumi ini, Kalahkan Raja Darius !! Taklukkan Kerajaan Persia !! Tidak Ada yang berubah selain Raja Kalian, Kalian Adalah Pemenang !!

 Sejarah kemudian menulis Alexander Agung berhasil menaklukkan kekuasaan Raja Darius, Raja dari Kerajaan Persia, Raja terbesar di Asia pada waktu itu.

Sebuah pertanyaan kemudian muncul, “Bagaimana Alexander Agung membangun kerajaannya ??”
Alexander membangun dan memimpin kerajaannya hanya dengan dua bekal :

  1. Prajurit terbaik
  2. Prajurit loyal

Dalam setiap malam prajuritnya ditempa dengan motivasi menguasai bumi. Untuk memotivasinya dia katakan  bahwa “bulan yang benderang, cucuran air hujan dari langit menandakan bahwa para dewa selalu mendampingi perjalanan mereka”

Dalam Tinjauan teori organisasi Alexander Agung telah menempatkan aspek organisasi mekanistik yaitu dengan semangat yang dikobarkan dengan tujuan utama yang disampaikan pada setiap prajuritnya bahwa dalam setiap pertempuran pasukan yang dipimpinnya harus selalu menang, dan tunduk terhadap apa yang menjadi tihtahnya.

Di lain sisi Alexander juga menempatkan aspek organik dalam mengembangkan setiap kerajaan yang telah di taklukkannya, salah satu contoh yang Alexander beserta para prajuritnya lakukan adalah menyebarkan kebudayaan hellenis yang merupakan perpaduan kebudayaan Yunani kuno, Laut Tengah, Mesir, dan Persia. Pengaruh Hellenisme ini bahkan sampai ke India dan Tiongkok, dan sebelum kematiannya, Alexander juga membangun kota Alexandria di Mesir, dengan perpustakaannya yang lengkap dibuka hingga seribu tahun lamanya dan berkembang menjadi pusat pembelajaran terhebat di dunia.

Wow !!!

Read More
TOP

Catatan kecil: lentera hati

Lamat-lamat terdengar syair lagu dari group musik jaman dulu ’Koes plus’ yang kurang lebih syairnya seperti ini

“Jo podo nelongso jamane jaman rekoso.
Urip pancen angel kudune ra usah ngomel
Ati kudu tentrem nyambut gawe karo seneng
ulat ojo peteng nek dikongkon yo sing temen”

Sejenak ku urungkan niatku untuk mengetuk pintu rumah yang terlihat sangat sederhana, rumah itu ditempati seorang bapak yang telah mengarungi hidup ini lebih dari 60 tahun. Syair lagu yang kudengar berganti suara penyiar radio. Akhirnya niatku ku lanjutkan dengan perlahan mengetuk pintu rumah itu.

“Asslamualaikum……”  , salam kusampaikan dengan berharap  seorang Lelaki Tua menyambut salamku dan membukakan pintu rumahnya, dan tak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam rumah.
“Wa’alaikumsalam…..siapa ya..? ayo silahkan masuk”
“Saya Fian Pak, bolehkah saya menemani Bapak bersantai siang ini ?”  sahutku dengan mantap.

Wajah yang penuh dengan gurat-gurat kehidupan tampak di hadapanku, tersenyum dan mengangguk penuh makna. Kehidupan yang penuh kesederhanaan terpancar di balik raut muka Pak Sugito, satu tahun yang lalu beliau  pernah mengisi relung hati ku dengan petuah dan kearifannya di kala aku bimbang menentukan jalan dalam melanjutkan studiku.

“Oh…Fian, ayo masuk, bagaimana kuliahmu di Jakarta, sudah tingkat berapa ? Sudah punya kekasih belum dan bagaimana kabar Ayah, Ibu? semua baik kan ?  
Pak Sugito memberondongku dengan berbagai pertanyaan, satu hal yang membuatku tertampar dan tak mampu berkata-kata,

“Bagaimana kabar Ayah dan Ibu ?”. Semenjak enam bulan yang lalu ketika persidangan mengetukkan palu nya, saat itu juga seakan-akan aku ingin melupakan segalanya, melupakan bahwa aku pernah memiliki keluarga, melupakan bahwa aku pernah berbahagia dengan keluargaku, keputusan bercerai dari orang tuaku membuat aku sakit hati, sakit pada kenyataan hidupku, sakit pada porak porandanya keluarga yang membesarkanku. Sejenak aku terdiam dan berusaha menyembunyikan segala yang tengah terjadi dari Pak Sugito yang saat ini adalah salah satu orang yang menjadi tauladanku dan ku anggap sebagai Bapak dalam kehidupanku.

 “Nak…..kok kamu malah diam dan sedih, ono opo tho iki ?”,

 Wajah Bapak sempat kebingungan mendapatiku seperti itu, tanpa ingin membuat Bapak bersedih sepontan aku tersenyum simpul di antara galaunya hati dan rapuhnya diri.

“Tidak ada apa-apa kok Pak, saya hanya kangen saja sama Bapak, dan ingin mendengar petuah-petuah Bapak seperti dulu”

 Bapak adalah seorang pekerja keras, kesehariannya di isi dengan menjadi buruh pabrik peralatan pecah belah, dan waktu luangnya seperti hari ini di isinya dengan mendengarkan radio sambil mengutak-atik peralatan elektronik tetangganya yang butuh diperbaiki. Dari Radio yang sedari tadi mengumandangkan lagu-lagu nostalgia terdengar lagu dari penyanyi yang menjadi idola teman sekamarku di Jakarta, ya…Ebiet G. Ade

“Pernahkah engkau coba menerka apa yang tersembunyi di sudut hati?
Derita di mata, derita dalam jiwa kenapa tak engkau pedulikan?”

Tidak tahan rasanya untuk segera bertanya pada Bapak tentang kegelisahanku, tentang derita dalam jiwaku yang tersembunyi jauh di sudut hati…..ya…kok jadi mirip lirik lagu yang baru saja aku dengar.

 “Saya datang jauh-jauh dari Jakarta sebenarnya ingin mendapatkan nasihat dari Bapak tentang bagaimana caranya untuk membuat diri sendiri selalu bahagia, sekaligus membuat orang lain selalu merasa berbahagia juga, kira-kira apa ya Pak resepnya ? saya melihat Bapak terasa sempurna menjalankan hidup ini” kataku lirih penuh harap kepada Bapak
Sambil tersenyum bijak, Bapak berkata, “Nak Fian, orang seusiamu memiliki keinginan mulia, ini sungguh tidak biasa dan luar biasa. Baiklah, untuk memenuhi keinginanmu, Bapak akan memberimu empat kunci. Perhatikan baik-baik ya…”
“Kunci Pertama, anggap dirimu sendiri seperti orang lain!” Kemudian, Bapak bertanya, “Nak Fian, apakah kamu mengerti kunci pertama ini? Coba pikir baik-baik dan beri tahu Bapak apa pemahamanmu tentang kunci pertama ini.”

Aku terdiam dan berfikir sejenak, kemudian keluar jawaban dari mulutku yang makin kelu “Jika bisa menganggap diri sendiri seperti orang lain, maka saat saya menderita, sakit dan sebagainya,  maka dengan sendirinya perasaan sakit itu akan jauh berkurang. Begitu juga sebaliknya, jika saya mengalami kegembiraan yang luar biasa, dengan menganggap diri sendiri seperti orang lain, maka kegembiraan tidak akan membuat diri kita menjadi lupa diri. Apakah benar demikian Pak ?”

Dengan senyum simpul dan wajah berbinar, Bapak mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan kata-katanya untuk memberikan kunci ke dua. “Kunci kedua, anggaplah orang lain seperti dirimu sendiri!”

Sejenak aku bingung dengan kata-kata Bapak, yang menurutku hanya sedang  bermain kata dan memutar-mutarnya saja. Namun demikian aku tetep mengikuti petuah Bapak dan menjawab ” Dengan menganggap orang lain seperti diri kita, maka saat orang lain sedang tidak beruntung, kita bisa berempati, bahkan mengulurkan tangan ikhlas kita untuk membantu. Kita juga bisa menyadari akan kebutuhan dan keinginan orang lain. Senantiasa berjiwa besar serta penuh toleransi. Apakah benar seperti itu Pak penjelasannya ?”

Dengan raut wajah yang makin cerah, Bapak kembali mengangguk-anggukkan kepala sambil melanjutkan kalimatnya, “Lanjut ke kunci ketiga. Perhatikan kalimat ini baik-baik, anggap orang lain seperti mereka sendiri!”

Aku sudah mulai memahami arah petuah Bapak, maka tidak canggung lagi saya mengutarakan pendapat, “Kunci ketiga ini menunjukkan bahwa kita harus menghargai hal-hal yang menjadi urusan pribadi orang lain, menjaga hak asasi setiap manusia dengan sama dan sejajar. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi saling menyerang, mengganggu dan menyakiti orang lain. Setiap orang memiliki hak menjadi dirinya sendiri. Bila terjadi ketidakcocokan atau perbedaan pendapat, masing-masing bisa saling menghargai.”

 Sejenak aku teringat dengan keputusan orang tuaku, rasa kangen menyergap hati dan rasanya ingin bertemu mereka dan memeluk sembari meminta maaf atau kelakuan anehku terakhir ini dan ketidak adilan yang telah kulakukan untuk mereka. Aku tersentak ketika Bapak melanjutkan kalimatnya pada kunci ke empat.

 “Bagus, bagus sekali Nak! Nah, ini adalah kunci terakhir atau kunci keempat: anggap dirimu sebagai dirimu sendiri! Bapak telah menyelesaikan semua jawaban atas pertanyaanmu. Kunci yang terakhir ini memang sesuatu yang sepertinya tidak biasa. Karena itu, tolong renungkan baik-baik Nak Fian.”

Aku sesaat terdiam dan kebingungan, setelah itu ku sampaikan uneg-unegku yang tidak terjawab  ”setelah memikirkan keempat kunci dari Bapak tadi, saya merasa ada ketidakcocokan, bahkan ada yang kontradiktif. Bagaimana cara saya bisa merangkum keempat kata kunci  tersebut menjadi satu? Dan, rasanya perlu waktu lama untuk mengerti semua kalimat Bapak sehingga aku bisa selalu gembira dan sekaligus bisa membuat orang lain juga merasa gembira?”

Sambil meminum seteguk kopi, Bapak menjawab, “Itu masalah yang sangat mudah Nak. Renungkan saja semua yang sudah Bapak sampaikan dan gunakan waktu seumur hidupmu untuk belajar dan mengalaminya sendiri.”

 Itulah jawaban Bapak yang diberikan untukku. Hari mulai beranjak senja dan saatnya untukku berpamitan kepada Bapak. Sambil bergegas satu harapan di hatiku, bahwa hari ini juga aku harus bertemu Ayah dan Ibu, apapun keadaan beliau dan dalam kondisi sesakit apapun hatiku ini. Bukankah aku sudah punya keinginan yang telah ku tanam dalam hati untuk senantiasa merasa bahagia dan membahagiakan orang lain, bak sebuah lentera hati yang tidak pernah padam hingga tutup usiaku kelak.

Sejak saat itulah saya berusaha keras mencari jawab dari gundah hatiku dengan mengalami dan mengamalkan empat kunci yang telah di wariskan oleh Bapak, yang tak lain dan tak bukan adalah Pak Sugito si buruh pabrik yang bijak

~~~hmmmm harus punya 4 kunci, bahkan menjadi juru kunci~~~~

Read More
Skip to toolbar