Lamat-lamat terdengar syair lagu dari group musik jaman dulu ’Koes plus’ yang kurang lebih syairnya seperti ini
“Jo podo nelongso jamane jaman rekoso.
Urip pancen angel kudune ra usah ngomel
Ati kudu tentrem nyambut gawe karo seneng
ulat ojo peteng nek dikongkon yo sing temen”
Sejenak ku urungkan niatku untuk mengetuk pintu rumah yang terlihat sangat sederhana, rumah itu ditempati seorang bapak yang telah mengarungi hidup ini lebih dari 60 tahun. Syair lagu yang kudengar berganti suara penyiar radio. Akhirnya niatku ku lanjutkan dengan perlahan mengetuk pintu rumah itu.
“Asslamualaikum……” , salam kusampaikan dengan berharap seorang Lelaki Tua menyambut salamku dan membukakan pintu rumahnya, dan tak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam rumah.
“Wa’alaikumsalam…..siapa ya..? ayo silahkan masuk”
“Saya Fian Pak, bolehkah saya menemani Bapak bersantai siang ini ?” sahutku dengan mantap.
Wajah yang penuh dengan gurat-gurat kehidupan tampak di hadapanku, tersenyum dan mengangguk penuh makna. Kehidupan yang penuh kesederhanaan terpancar di balik raut muka Pak Sugito, satu tahun yang lalu beliau pernah mengisi relung hati ku dengan petuah dan kearifannya di kala aku bimbang menentukan jalan dalam melanjutkan studiku.
“Oh…Fian, ayo masuk, bagaimana kuliahmu di Jakarta, sudah tingkat berapa ? Sudah punya kekasih belum dan bagaimana kabar Ayah, Ibu? semua baik kan ?
Pak Sugito memberondongku dengan berbagai pertanyaan, satu hal yang membuatku tertampar dan tak mampu berkata-kata,
“Bagaimana kabar Ayah dan Ibu ?”. Semenjak enam bulan yang lalu ketika persidangan mengetukkan palu nya, saat itu juga seakan-akan aku ingin melupakan segalanya, melupakan bahwa aku pernah memiliki keluarga, melupakan bahwa aku pernah berbahagia dengan keluargaku, keputusan bercerai dari orang tuaku membuat aku sakit hati, sakit pada kenyataan hidupku, sakit pada porak porandanya keluarga yang membesarkanku. Sejenak aku terdiam dan berusaha menyembunyikan segala yang tengah terjadi dari Pak Sugito yang saat ini adalah salah satu orang yang menjadi tauladanku dan ku anggap sebagai Bapak dalam kehidupanku.
“Nak…..kok kamu malah diam dan sedih, ono opo tho iki ?”,
Wajah Bapak sempat kebingungan mendapatiku seperti itu, tanpa ingin membuat Bapak bersedih sepontan aku tersenyum simpul di antara galaunya hati dan rapuhnya diri.
“Tidak ada apa-apa kok Pak, saya hanya kangen saja sama Bapak, dan ingin mendengar petuah-petuah Bapak seperti dulu”
Bapak adalah seorang pekerja keras, kesehariannya di isi dengan menjadi buruh pabrik peralatan pecah belah, dan waktu luangnya seperti hari ini di isinya dengan mendengarkan radio sambil mengutak-atik peralatan elektronik tetangganya yang butuh diperbaiki. Dari Radio yang sedari tadi mengumandangkan lagu-lagu nostalgia terdengar lagu dari penyanyi yang menjadi idola teman sekamarku di Jakarta, ya…Ebiet G. Ade
“Pernahkah engkau coba menerka apa yang tersembunyi di sudut hati?
Derita di mata, derita dalam jiwa kenapa tak engkau pedulikan?”
Tidak tahan rasanya untuk segera bertanya pada Bapak tentang kegelisahanku, tentang derita dalam jiwaku yang tersembunyi jauh di sudut hati…..ya…kok jadi mirip lirik lagu yang baru saja aku dengar.
“Saya datang jauh-jauh dari Jakarta sebenarnya ingin mendapatkan nasihat dari Bapak tentang bagaimana caranya untuk membuat diri sendiri selalu bahagia, sekaligus membuat orang lain selalu merasa berbahagia juga, kira-kira apa ya Pak resepnya ? saya melihat Bapak terasa sempurna menjalankan hidup ini” kataku lirih penuh harap kepada Bapak
Sambil tersenyum bijak, Bapak berkata, “Nak Fian, orang seusiamu memiliki keinginan mulia, ini sungguh tidak biasa dan luar biasa. Baiklah, untuk memenuhi keinginanmu, Bapak akan memberimu empat kunci. Perhatikan baik-baik ya…”
“Kunci Pertama, anggap dirimu sendiri seperti orang lain!” Kemudian, Bapak bertanya, “Nak Fian, apakah kamu mengerti kunci pertama ini? Coba pikir baik-baik dan beri tahu Bapak apa pemahamanmu tentang kunci pertama ini.”
Aku terdiam dan berfikir sejenak, kemudian keluar jawaban dari mulutku yang makin kelu “Jika bisa menganggap diri sendiri seperti orang lain, maka saat saya menderita, sakit dan sebagainya, maka dengan sendirinya perasaan sakit itu akan jauh berkurang. Begitu juga sebaliknya, jika saya mengalami kegembiraan yang luar biasa, dengan menganggap diri sendiri seperti orang lain, maka kegembiraan tidak akan membuat diri kita menjadi lupa diri. Apakah benar demikian Pak ?”
Dengan senyum simpul dan wajah berbinar, Bapak mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan kata-katanya untuk memberikan kunci ke dua. “Kunci kedua, anggaplah orang lain seperti dirimu sendiri!”
Sejenak aku bingung dengan kata-kata Bapak, yang menurutku hanya sedang bermain kata dan memutar-mutarnya saja. Namun demikian aku tetep mengikuti petuah Bapak dan menjawab ” Dengan menganggap orang lain seperti diri kita, maka saat orang lain sedang tidak beruntung, kita bisa berempati, bahkan mengulurkan tangan ikhlas kita untuk membantu. Kita juga bisa menyadari akan kebutuhan dan keinginan orang lain. Senantiasa berjiwa besar serta penuh toleransi. Apakah benar seperti itu Pak penjelasannya ?”
Dengan raut wajah yang makin cerah, Bapak kembali mengangguk-anggukkan kepala sambil melanjutkan kalimatnya, “Lanjut ke kunci ketiga. Perhatikan kalimat ini baik-baik, anggap orang lain seperti mereka sendiri!”
Aku sudah mulai memahami arah petuah Bapak, maka tidak canggung lagi saya mengutarakan pendapat, “Kunci ketiga ini menunjukkan bahwa kita harus menghargai hal-hal yang menjadi urusan pribadi orang lain, menjaga hak asasi setiap manusia dengan sama dan sejajar. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi saling menyerang, mengganggu dan menyakiti orang lain. Setiap orang memiliki hak menjadi dirinya sendiri. Bila terjadi ketidakcocokan atau perbedaan pendapat, masing-masing bisa saling menghargai.”
Sejenak aku teringat dengan keputusan orang tuaku, rasa kangen menyergap hati dan rasanya ingin bertemu mereka dan memeluk sembari meminta maaf atau kelakuan anehku terakhir ini dan ketidak adilan yang telah kulakukan untuk mereka. Aku tersentak ketika Bapak melanjutkan kalimatnya pada kunci ke empat.
“Bagus, bagus sekali Nak! Nah, ini adalah kunci terakhir atau kunci keempat: anggap dirimu sebagai dirimu sendiri! Bapak telah menyelesaikan semua jawaban atas pertanyaanmu. Kunci yang terakhir ini memang sesuatu yang sepertinya tidak biasa. Karena itu, tolong renungkan baik-baik Nak Fian.”
Aku sesaat terdiam dan kebingungan, setelah itu ku sampaikan uneg-unegku yang tidak terjawab ”setelah memikirkan keempat kunci dari Bapak tadi, saya merasa ada ketidakcocokan, bahkan ada yang kontradiktif. Bagaimana cara saya bisa merangkum keempat kata kunci tersebut menjadi satu? Dan, rasanya perlu waktu lama untuk mengerti semua kalimat Bapak sehingga aku bisa selalu gembira dan sekaligus bisa membuat orang lain juga merasa gembira?”
Sambil meminum seteguk kopi, Bapak menjawab, “Itu masalah yang sangat mudah Nak. Renungkan saja semua yang sudah Bapak sampaikan dan gunakan waktu seumur hidupmu untuk belajar dan mengalaminya sendiri.”
Itulah jawaban Bapak yang diberikan untukku. Hari mulai beranjak senja dan saatnya untukku berpamitan kepada Bapak. Sambil bergegas satu harapan di hatiku, bahwa hari ini juga aku harus bertemu Ayah dan Ibu, apapun keadaan beliau dan dalam kondisi sesakit apapun hatiku ini. Bukankah aku sudah punya keinginan yang telah ku tanam dalam hati untuk senantiasa merasa bahagia dan membahagiakan orang lain, bak sebuah lentera hati yang tidak pernah padam hingga tutup usiaku kelak.
Sejak saat itulah saya berusaha keras mencari jawab dari gundah hatiku dengan mengalami dan mengamalkan empat kunci yang telah di wariskan oleh Bapak, yang tak lain dan tak bukan adalah Pak Sugito si buruh pabrik yang bijak
~~~hmmmm harus punya 4 kunci, bahkan menjadi juru kunci~~~~