Melihat sejarah komunikasi, kita kembali ke 200ribu tahun silam, ke saat-saat dimana komunikasi paling sederhana yaitu bicara. Manusia menemukan simbol 30ribu tahun silam diikuti dengan tulisan sejak 7ribu tahun silam.
Dengan bicara, dipastikan bahwa manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Bicara secara umum memfasilitasi transmisi informasi dan pengetahuan. Dengan berbicara, koordinasi dan kooperasi menjadi lebih mudah, bahkan ditingkatan konsep seperti agama dan keilmuan. Namun, bicara mempunyai beberapa kekurangan. Jarak tempuh suara manusia tidak begitu jauh, dan kemampuan otak manusia, dalam menyimpan data, yang tidak begitu lama.
Dengan kekurangan itu, manusia mencoba mencari cara untuk memudahkan penyebaran ide dan informasi serta dalam usaha untuk meningkatkan umur informasi. Karena itulah manusia membuat simbol-simbol yang dapat dikomunikasikan sesuai dengan ketentuan bersama. Sehingga, simbol ini hanya bisa dibaca oleh mereka yang terikat ketentuan tersebut.
Dalam dunia modern, semua hal terkait dengan hal lain. Untuk itu manusia menemukan teknik menulis. Sama seperti symbol, hanya saja lebih advanced, dengan representasi berupa huruf dan secara internasional diakui maka menulis menjadi sebuah metode komunikasi yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat. Namun tetap, dalam menulis dibutuhkan pengetahuan terhadap bahasa yang dipakai dalam menyampaikan informasi. Contohnya, informasi yang tertulis dalam bahasa inggris akan sulit dipahami oleh mereka yang tidak mempunyai pengetahuan tentang bahasa inggris (apalagi tidak pernah mengenal).
Kalau diambil kesimpulan dari sejarah komunikasi, ternyata komunikasi itu hanyalah penyampaian informasi (bukan data, apalagi hanya sebatas teks, namun lebih kearah konteks). Dan bisa dilihat bahwa diperlukan sumber informasi (komunikator) dan penerima (komunikan). Jadi gambarannya adalah seperti dibawah ini.
Ketika penyampaian informasi, pasti ada maksud atau tujuan tertentu, dan harus diperhitungkan dampak baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Misalnya ketika menyampaikan informasi tentang kenakalan remaja, dampak yang dihindari adalah persepsi komunikan bahwa kenakalan remaja adalah hal yang lumrah.
Penyampaian informasi tidak lepas dari alat bantu komunikasi dalam bentuk auditorial maupun non-verbal. Pernah lihat tidak ketika lampu merah, baru saja hijau menyala eh bagian paling belakang udah klakson-klakson… secara tidak langsung itu pun juga komunikasi melalui alat bantu berupa klakson. Bisa diartikan hal itu adalah mengingatkan atau amarah. Jika komunikan tidak dapat menerima hal itu secara positif, bisa-bisa saling adu klakson. Rame dah kayak taon baru.
Menurut Albert Mehrabian, ada 3 elemen dalam komunikasi agar informasi dapat diterima seluruhnya oleh komunikan. Elemen ini sering disebut sebagai aturan 7-38-55 atau 3V, yaitu :
- Verbal mempunyai besaran 7%.
Artinya bahwa dengan berbicara, informasi yang diterima hanyalah 7%. - Voice mempuyai besaran 38%.
Jika gaya bicara diikuti dengan intonasi (penekanan), komunikan mampu menyerap 7+38 = 45% informasi. - Visual mempunyai besaran 55%.
Elemen visual begitu kompleks. Tidak hanya membicarakan bahasa tubuh, tetapi juga visualisasi materi perlu diperhatikan. Tidak semua komunikan mampu menerima visualisasi dari komunikator, jadi perlu dipertimbangkan tentang konsep diri dan cara penyampaian informasi.
Bercermin pada 3V, ada 3 aturan yang harus dipenuhi agar informasi dapat diterima dengan baik, yaitu :
- Syntactic, tentang pemilihan kata-kata. Kata-kata diusahakan tidak memilii kerancuan dan mampu diterima oleh komunikan. Jika komunikator adalah seorang professor sedangkan komunikan adalah mahasiswa, ketika sang professor mengajar menggunakan kata-kata ilmiah tingkat tinggi, hmm… bisa dipastikan mahasiswa bakal mlongo.
- Pragmatic, tentang hubungan antara kata-kata dengan komunikan. Sang professor idealnya harus bisa melakukan leveling pada kata dan cara dia menyampaikan informasi.
- Semantic, tentang pemaknaan. Kalau ngomong tanpa substansi, yang ada hanya entertain saja.
Jadi kesimpulannya, hati-hati kalau mau berbicara dengan orang lain. Pastikan apa yang ingin kita bicarakan benar-benar dapat diserap dan tidak menimbulkan ambiguitas dalam pemaknaannya. Apalagi menimbulkan pesan jelek, wah bisa-bisa kontak fisik.
Salam,
TEA