Digitalisasi Perpustakaan : Sebuah Paradoks Ataukah Kebutuhan

Era perpustakaan digital

Perkembangan perpustakaan khususnya perpustakaan perguruan tinggi boleh dibilang mengalami trend positif akhir-akhir ini. Perpustakaan tidak saja dipandang sebelah mata tetapi sudah diposisikan sebagai jantung universitas (bila keberadaannya di Universitas). Ia juga menjadi motor penggerak dalam hal budaya pendidikan dan penelitian. Ia bukan lagi pelengkap yang pada akhirnya hanya menjadi gudang penyimpanan (baca= pembuangan) hasil-hasil penelitian yang artificial. Ia juga bukan lagi menjadi sosok penyendiri yang solitary, tempat orang-orang “buangan” yang tidak dikehendaki, pelengkap atau symbol status social kaum feudal. Perpustakaan telah berevolusi menjadi sebuah sosok baru. Sebuah institusi yang telah diperhitungkan. Sebuah badan penting yang secara sadar telah “ditinggalkan” karena sebuah kesalahan. Sebuah unit penyokong utama budaya pendidikan dan penelitian. Ia mulai berbenah, dan mempercantik diri. Ia mulai sadar akan kekuatan yang ada pada dirinya. Sebuah kekuatan yang berbasis pengetahuan, teknologi dan peradaban. Perpustakaan menjelma menjadi kekuatan yang diperhitungkan.

Sadar akan arti pentingnya perpustakaan bagi sebuah institusi pendidikan, ia mualai bergerak untuk berbenah. Seakan mengikuti trend, perpustakaan seakan berevolusi menjadi bentuk digital. Secara etimologi, Perpustakaan digital (Inggris: digital library atau electronic library atau virtual library) adalah perpustakaan yang mempunyai koleksi buku sebagian besar dalam bentuk format digital dan yang bisa diakses dengan komputer. Jenis perpustakaan ini berbeda dengan jenis perpustakaan konvensional yang berupa kumpulan buku tercetak, film mikro (microform dan microfiche), ataupun kumpulan kaset audio, video, dll. Isi dari perpustakaan digital berada dalam suatu komputer server yang bisa ditempatkan secara lokal, maupun di lokasi yang jauh, namun dapat diakses dengan cepat dan mudah lewat jaringan komputer. Digitalisasi sudah dirasa perlu ketika kecepatan dan akurasi akses database informasi sudah bergeser dari gagah-gahan ke arah kebutuhan.

Globalisasi Yang Menembus Batas

Era digital memungkinkan komunikasi dan akses informasi yang tanpa batas.  Sebuah konsep yang memandang sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.

Paradoks Produktifitas

Untuk mewujudkan semuanya memang dibutuhkan investasi yang tidak sedikit. Artinya adalah, akan ada sebuah infrastruktur yang akan dibangun untuk mendukung berjalannya system tersebut. Kemudian muncul kekawatiran terjadinya paradoks produktifitas, di mana ada ketimpangan antara profit dan investasi. Investasi awal yang besar terasa tidak sepadan dengan profit yang didapatkan. Tetapi sesungguhnya kita haruslah sadar, bahwa bisnis jasa bukanlah seperti berdagang di pinggiran pasar. Setelah barang terjual, langsung mendapat keuntungan. Bisnis jasa tak ubahnya seperti menanam, yang memerlukan proses lama untuk tumbuh dan berkembang. Banyak yang berhasil dengan gemilang, tak jarang pula yang kemudian tumbang beberapa saat setelah berinvestasi.

Kita juga harus ingat, bahwa sebuah perubahan yang radikal kadang diperlukan untuk sekedar bertahan hidup. Jack Trout dalam bukunya Differentiate or Die : Survival in Our Era Killer Competition, pernah mengatakan bahwa kita harus berubah secara cepat (radikal) atau kita akan mati secara cepat pula. Dalam dunia bisnis terkadang kita tidak mempunyai pilihan selain berubah atau mati.

Perubahan dan invenstasi yang terkesan memberikan fatamorgana dan paradok produktifitas, harus tetap bisa diterima sebagai bagian dalam rangka sustainable atau strategi bertahan hidup.

Perubahan Mindset

Pembangunan digital library yang beberapa tahun terakhir ini seakan jalan di tempat lebih banyak disebabkan oleh macetnya perubahan mindset pengelola perpustakaan itu sendiri. Beberapa pengelola masih berpandangan konservatif. Sempitnya perspektif ini tidak lain karena mindset mereka yang belum sepenuhnya terbentuk. Keengganan pustakawan dalam pengembangan dirinya tentang teknologi informasi ikut menghambat laju perkembangan digital library.

Mindset yang belum terbentuk inilah yang kadang membuat pustakawan terlalu bergantung kepada orang lain untuk urusan yang bersinggunggan dengan teknologi. Pustakawan masih saja lebih banyak bergelut dengan kepangkatan, reposisi diri, dan masalah “bertahan hidup”

Perubahan itupun juga harus diimbangi dengan etos kerja yang tinggi, bukan lagi sekedar tukang ketik, penunggu buku lapuk, ataupun pupuk bawang. Tak dipungkiri bahwa pekerjaan pustakawan bermula dari hal-hal administratif, namun dengan adanya bantuan computer dan digitalisasi, pustakawan harus dituntut lebih kreatif lagi dalam bekerja. Tidak lagi berpikir secara administratif, namun juga harus mulai memikirkan hal-hal yang strategis yang berhubungan dengan perkembangan manajemen perpustakaan jangka panjang. Padahal, pustawakan generasi lama tidak dibekali ilmu tentang strategic management planning. Pustakawan hanya tahu seputar pengolahan, pengadaan, sirkulasi, dan bagaimana ketiganya bisa menjadi sebuah pelayanan yang terintegrasi sehingga waktu pelayanan bisa dipersingkat.

Pekerjaan pustakawan telah bergeser kepada hal-hal manajemen tingkat tinggi yang membutuhkan keahlian khusus. Sehingga substansi utama pekerjaan pustakawan pun kini semakin kompleks. Fenomena ini harus disikapi sebagai hal positif, artinya bahwa pekerjaan pustakawan telah mengalami satu loncatan besar dalam sejarah kepustakawanan. Memikirkan hal-hal yang strategis, sekarang lebih penting daripada sekedar hal-hal yang administratif.

This entry was posted in Articles, Educations. Bookmark the permalink.

2 Responses to Digitalisasi Perpustakaan : Sebuah Paradoks Ataukah Kebutuhan

  1. aculife girl says:

    wah postingnya mantep,, boleh gak saya copy paste di blog saya? mohon update terus ya, makasih..

  2. don15 says:

    ga masalah pak jika perpustakaan dilakukan digitalisasi asalkan membawa kebaikan dan tidak mengurangi nilai dari perpustakaan itu snediri……

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *