Ujian Akhir Nasional baru saja berlangsung. Perhelatan tahunan ini tak kalah serunya dengan Pilkada. Pengamanan berkas yang melibatkan banyak pihak seakan menguatkan kesan, bahwa perhelatan ini sama pentingnya dengan Pilkada itu sendiri.
———–
Sebegitu penting dan keramatnya kah berkas soal itu sehingga tidak semua orang bisa menyentuhnya? Bahkan tim pembuat soal harus dikarantina, dijauhkan dari sanak saudara. Ketika berkas soal sudah jadi dalam bentuk hard copy sekalipun masih saja dijaga ketat. Layaknya sebuah bom yang harus dijinakkan tim detasemen 88 anti teror.
Pengamanan yang berlapis dan super ketat itu bukan tanpa maksud. Bukan pula bermaksud mengkeramatkan soal ujian. Tetapi dititikberatkan kepada keamanan soal dari kebocoran. Bukan hal yang baru lagi bahwa setiap tahun selalu saja ada kasus atau pun isu kebocoran soal.
“Tim Sukses” Kelulusan Siswa
Beberapa hari lalu kegelisahan banyak menyerang guru-guru di sekolah. Terutama yang bertanggung jawab langsung terhadap kelulusan siswanya. Kegelisahan itu bukan tanpa alasan. Seperti diketahui, aturan dalam UN 2006 yang digelar bulan Mei tahun ini hanya mengujikan tiga mata pelajaran yaitu matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Standar kelulusan UN minimal 4,26 untuk tiap mata pelajaran dengan rata-rata 4,51 untuk ketiganya. Jika tidak tercapai pada titik nilai tersebut, maka siswa diharuskan mengulang lagi kelas 9 selama satu tahun. Hal ini tentu saja menghantui semua guru dan jajaran pendidik di sekolah. Ada paranoia bahwa tingkat kelulusan yang hanya bisa dicapai tak lebih dari 40% menggugah mereka untuk membuat “tim sukses” kelulusan.
Mendengar istilah tim sukses kita akan berpikir bahwa ini adalah upaya positif kearah peningkatan kualitas pengajaran. Sehingga tercipta siswa yang mampu menghadapi UN baik secara mental maupun material. Peningkatan mutu pengajaran juga pada akhirnya berdanmpak pada kualitas kelulusan siswa. Bukan hanya sekedar melewati batas nilai minimum yang ditentukan. Tetapi paradigma tersebut telah bergeser substansinya. Bukan lagi pada bagaimana mencetak lulusan yang lebih baik tetapi menghalalkan cara untuk mencapai target kelulusan maksimum 100%.
Modus yang dipakai masih menggunakan cara lama. Soal UN dari Diknas akan tetap dibiarkan tertutup rapat pada hari H. Pendataan jumlah siswa yang mengikuti UN biasanya akan lebih banyak daripada jumlah sebenarnya dan sisa soal dipastikan akan ada, meski hanya satu lembar. Kelebihan soal itu kemudian “diamankan”. Kemudian tim sukses ini mengerjakan soal-soal untuk para siswa sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kunci jawaban itu kepada panitia ujian dan diteruskan kepada siswa.
UN Dianggap Sebagian Guru Sebagai Bentuk Tirani Pendidikan
Ada wacana bahwa kelulusan siswa adalah menjadi tanggung jawab sekaligus hak prerogatif guru. Kenapa? Karena gurulah yang paling tahu seperti apa kualitas muridnya. Maka “aliran” ini beberapa hari lalu menentang adanya UN yang dinilai tidak fair. Disamping itu, UN dianggap sebagai bentuk tirani dunia pendidikan. Tingkat kelulusan yang diatur oleh pusat tanpa memberi peluang atau kesempatan guru untuk menentukan sendiri “nasib” muridnya.
Bila model demikian dicanangkan memang ada nilai positif dan negatifnya. Positifnya adalah ada independensi guru dalam menentukan “nasib” muridnya tanpa intervensi pusat. Sisi negative-nya adalah, tingkat subyektifitas yang tinggi. Pembelakukan UN secara nasional sebenarnya untuk men-standarisasi mutu lulusan sehingga tercipta sebuah SDM yang benar-benar ampuh. Sebab soal yang diujikan tentunya telah dirancang sedemikian rupa sesuai kemampuan siswa. Tanpa bisa melewati itu semua, jangan harap mutu lulusan murid bisa terjaga.
Pergeseran Target Kelulusan
Paradigma yang ada sekarang adalah adanya pergeseran subtansi masalah yang sebenarnya. Mengejar kelulusan secara kuantitas tanpa dibarengi dengan kualitas yang baik. Akhirnya keberhasilan hanya diukur dari berapa yang lulus, bukan lagi seberapa bagus hasil lulusan tersebut. Hal ini tentu saja memicu guru dan aparat didik untuk berlomba-lomba menghalalkan cara untuk mengejar kelulusan 100% tanpa memperhatikan sisi kualitas. Sehingga guru dan aparat didik banyak yang terjebak pada tujuan jangka pendek dan artificial.
Mestinya, pembenahan harus diawali dengan mutu pengajaran yang baik dulu. Tetapi bukan berarti kurikulum yang diganti. Toh pengalaman pergantian kurikulum ratusan kali dalam rentang puluhan tahun juga tidak pernah berhasil guna. Nah yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat siswa lebih cerdas dalam berpikir. Disamping itu perlu juga ditumbuhkan budaya akademisi yang lebih intelek, bukan lagi sistem pengajaran yang mengedepankan doktrinasi.
Namun di tengah kegelisahan para guru tersebut masih saja ada yang berupaya untuk menjadi lebih baik. Misalnya dengan mengubah pola belajar mengajar ataupun menambah intensitas belajar mengajar. Misalnya apa yang dilakukan oleh SMP Negeri 34 Kota Bandung. Sekolah ini menetapkan aturan yang ketat saat UN, apa pun hasilnya. Berbagai cara telah ditempuh para guru untuk meloloskan siswanya saat UN. Misalnya siswa kelas 9 diharuskan mengikuti kelas pemantapan pagi hari (pukul 6.00 WIB), pendalaman khusus tiga mata pelajaran sejak Maret lalu, kelas pengayaan pada siang hari, maupun pemantapan khusus/intensif bagi siswa yang dianggap kurang. “Semua dilakukan untuk memacu siswa dalam mempersiapkan UN
Upaya-upaya positif seperti ini patut ditiru. Tanpa adanya upaya yang positif, sangat naïf bila kita harus mengkambinghitamkan system UN yang telah ada atas kegagalan kelulusan. Budaya kambing hitam bukan persoalan baru di negeri ini. Tetapi bangsa kita memang jarang mau bejalar dari setiap kegagalan yang pernah dialaminya. Maka yang lebih penting adalah bukan membuat kurikulum baru yang lebih wah, juga bukan meniadakan UN tetapi menumbuhkan budaya akademisi yang lebih baik di lingkungan sekolah. System pembelajaran yang benar bukan hanya sekedar model doktrinasi akan mampu membantu siswa lebih berpikir kreatif.
Tim Sukses” Kelulusan Siswa
lucu, sebetulnya dunia pendidikan kita tuh… ngejar nilai doang.. ilmu mah ga penting.. yang penting nilai.. cacad…