Sapi dan Kehormatan Lelaki
Sebuah artikel menarik, yang barangkali terkait dengan ego seorang laki-laki :D, tapi kalo yang ini sebenarnya terkait tradisi. Hanya karena sapi, seorang laki-laki rela “berpisah” dengan istrinya :D. Selengkapnya bisa dibaca artikel berikut ini yang saya dapatkan dari Kompas.
Di kandang-kandang yang terasing, sapi-sapi istimewa dipelihara secara istimewa pula. Mereka dilayani dan dijaga laksana raja. Ketika waktunya tiba, sapi-sapi itu disembelih demi mengangkat kehormatan laki-laki di mata istri. Empat bulan terakhir, Isya (62) tidak tidur serumah dengan istrinya, tetapi dengan sekawanan sapi. Tempatnya di sebuah kandang yang tersembunyi di antara semak dan rerimbunan pohon ratusan meter dari Gampong Lam U, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Suatu pagi pada pertengahan Februari, Isya baru saja bangun tidur. Rambutnya masih acak-acakan. Ia tersenyum menyambut kedatangan empat tamunya.
Isya menyilakan kami untuk melihat peraduannya berupa dipan bambu di pojok kandang. Tiga sapi jantan menempati ruangan lebih besar seolah menunjukkan siapa tuan rumah kandang itu. Udara di dalam kandang dipenuhi bau kotoran sapi dan asap perapian yang menusuk tajam. Di tempat itulah, hingga empat bulan ke depan, Isya bakal melewatkan hari bersama sapi-sapi meugang yang dititipkan kepadanya.
Sapi meugang adalah sapi jantan pilihan yang dipersiapkan untuk dipotong pada saat meugang, yaitu tradisi menyambut awal Ramadhan yang biasa digelar orang Aceh. Sejumlah catatan lama, misalnya dalam The Achehnese (Snouck Hurgronje, 1906) dan Adat Aceh dari Satu Manuscript India Office Library (Banda Aceh, PLPIS, 1976), menyebutkan, meugang menjadi perayaan utama di Aceh selain peringatan malam Lailatulkadar, Idul Fitri, dan Idul Adha pada abad ke-17. Pada hari itu, masyarakat Aceh akan memborong daging sapi dan mengolahnya jadi aneka masakan lezat.
Tidak diumbar
Sejak memasuki awal musim memelihara sapi meugang, kehidupan Isya berputar di seputar kandang. Ia hanya meninggalkan kandang ketika shalat di meunasah (mushala) dan menonton pertandingan sepak bola di televisi di sebuah kedai kopi. Saat ia pergi, Fadly (38), kerabat Isya yang juga pemelihara sapi, menggantikan tugasnya. Begitu juga sebaliknya.
Buat Isya, pekerjaan menjaga sesuatu yang dianggap istimewa sudah biasa ia lakukan. Laki-laki murah senyum yang mengaku pensiunan tentara itu mengatakan, “Dulu tugas saya menjaga anak pejabat tinggi, sekarang menjaga sapi, ha-ha-ha.”
Fadly juga telah cukup lama menjalani pekerjaan itu. Sedari kecil, dia menemani ayahnya yang juga pemelihara sapi meugang. Pekerjaannya sebagai pemelihara sapi sempat terhenti selama konflik bersenjata melanda Aceh tahun 2003-2005. Fadly memilih menyingkir ke Bandung, Jawa Barat, dan kembali lagi setelah konflik reda.
Kembali ke kampungnya berarti kembali ke lembah di pinggir Gampong Lam U, tempat memelihara sapi meugang. Lembah itu ibarat kampung sapi meugang. Puluhan kandang sapi berderet. Jarak antarkandang sekitar 500 meter dipisahkan rimbun rumput gajah dan pohon pisang.
Sebagaimana pemeliharanya, kehidupan sapi meugang juga terasing dari dunia luar. Mereka tidak bisa berkeliaran dan berbaring di jalan raya seperti kawanan sapi lain di seantero Aceh. Ruang hidup sapi-sapi itu praktis hanyalah kandang seukuran tubuh yang terlindung dari paparan matahari dan hujan. Hanya sebulan sekali sapi-sapi itu keluar kandang ketika dimandikan. “Sapi-sapi itu tidak boleh diumbar seperti sapi-sapi biasa. Mereka tidak boleh banyak bergerak,” ujar Isya.
Ya, tugas utama sapi itu pada masa pengasingan hanya satu: menumpuk daging sebanyak mungkin. Barangkali sama dengan tugas yang diemban sapi kobe, Jepang, yang terkenal dengan daging wagyu-nya. Bedanya, sapi meugang di Aceh tidak dipijat dan tidak diberi minuman sake.
Namun, sama seperti sapi kobe, sapi meugang diperlakukan bak raja. Setiap hari, pemeliharanya memberikan bertumpuk-tumpuk pakan istimewa, mulai dari rumput gajah, sukun, dedak dan garam, nanas, hingga hati batang pisang. Secara rutin, sapi-sapi itu pun dicekoki dengan jamu yang terdiri dari lengkuas, bunga kecombrang, sejenis jeruk lokal, dan cuka. “Agar sapi tidak masuk angin dan doyan makan,” kata Fadly.
Bahkan, para pemelihara juga menjaga sapi-sapi itu dari gigitan serangga dengan membakar ranting-ranting dan dedaunan yang mengeluarkan asap. “Prinsipnya yang boleh digigit serangga hanya penjaga, sapinya tidak boleh,” tutur Isya.
Dengan teknik memelihara yang ketat seperti itu, Fadly mengklaim berat sapi bertambah cepat dan harganya pun melejit. “Sapi ini saya beli empat bulan lalu Rp 18 juta, sekarang harganya sudah Rp 23 juta. Empat bulan lagi saat meugang bisa Rp 30-an juta,” ujar Fadly.
Gengsi laki-laki
Ketika meugang tiba, sapi-sapi itu digiring ke Pasar Hewan Sibreh di Aceh Besar untuk dinilai berat dan harganya oleh para pedagang sapi. Dalam satu tatapan mata, pedagang sapi seperti Azhari Abdullah (59) sudah tahu apakah sapi-sapi yang disodorkan kepadanya dipelihara secara meugang atau tidak. Kalau kurang yakin, ia biasanya akan menepuk pantat sapi keras-keras. Plaaak!
“Tak perlu dijelaskan, saya tahu itu sapi meugang atau bukan, termasuk taksiran berat daging dan harganya,” ujar Azhari.
Kawanan sapi meugang itu selanjutnya disembelih di awal sekaligus ujung kebebasannya. Dagingnya lantas menjadi rebutan banyak orang. Mengapa? “Sebab, daging sapi meugang itu adalah simbol kehormatan laki-laki Aceh. Semakin banyak daging sapi meugang yang bisa dibawa pulang seorang laki-laki, semakin terhormat dia di mata istri,” kata Reza Idria, antropolog dari IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Sebagian daging sapi itu akan diolah menjadi aneka masakan seperti rendang dan kari untuk dinikmati semua anggota keluarga. Sisa daging yang berlimpah dijadikan sie reboh (daging asam) agar awet dan tahan disimpan sepanjang Ramadhan.
Berapa pun harga daging sapi meugang, laki-laki Aceh akan membelinya. Itu sebabnya, harga daging sapi saat musim meugang melonjak tidak keruan. Pada musim meugang tahun 2012, harga daging sapi di Aceh mencapai Rp 130.000 per kilogram. Padahal, harga daging sapi di Jakarta ketika itu hanya Rp 90.000 per kilogram.
Bagaimana dengan laki-laki yang tidak mampu? “Laki-laki Aceh akan sangat malu jika tak bisa membawa daging sapi saat meugang. Kehormatannya di mata istri dan mertua langsung jatuh,” tutur Reza.
Istri pun malu kepada tetangga jika tidak bisa memasak daging sapi saat meugang. Untuk menutupi malu, kata Reza, istri akan memasak daun pandan dan daun kari (temurui) yang harumnya menyebar ke mana-mana. “Dengan begitu, tetangga mengira keluarga itu memasak kari. Sampai seperti itu!” ucap Reza.
Namun, lanjut Reza, sebenarnya jarang sekali ada laki-laki Aceh yang tidak sanggup membawa daging sapi saat meugang. Selama mau bergaul dengan tetangga, ia pasti mendapatkan daging. Dengan membantu menyiangi sapi yang disembelih keluarga lain, dia bisa mendapatkan bagian daging sapi.
Itulah jalan keluar yang disediakan adat untuk menjaga kehormatan lelaki. Tujuannya agar tak ada laki-laki yang terjungkal kehormatan karena sapi. (Budi Suwarna dan Ahmad Arif)
versi cetak ada disini Sapi dan Kehormatan Lelaki
memang tradisi yang baik harusnya bisa juga disesuaikan dgn evolusi jaman yang ada tanpa harus menghilangkan kekhas-an, sehingga tradisi tetap tradisi tanpa harus menghilangkan untuk mengikuti perkembangan…
susah dihilangkan kebiasaan seperti ini
banyak orang yg memasukkan unsur adat juga dalam agama
contoh memakai dupa sambil baca sholawat nabi
itu sebenernya kan adat juga 😀
adat kadang emang musti berevolusi juga kali ya, soalnya adat juga hasil ciptaan manusia kan, di waktu tertentu, pas kondisi tertentu, saya rasa sih mustinya dimaknai bukan sekedar dilaksanakan yang namanya kearifan lokal masing-masing daerah. btw, baru tau. hehe. nice share. thanks.
supporting IT staff @ Institut Manajemen Telkom
http://www.imtelkom.ac.id
sama, saya juga baru tahu 😀
Yah kalau pada dasarnya diniatkan hanya untuk rasa malu sih saya kurang setuju,bukankah meugang ataupun istilah lainnya itu hanya adat ? adat kan kalau memberatkan tidak mesti harus di ikuti,apalagi kalau sampai menyalahi aturan moral dan agama.Hanya saja adat harus dijaga sebagai nilai estetika leluhur,karena bagaimanapun juga bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi adat dan kebudayaannya sendiri.
kadang, kita sering bingung mana sih yang adat mana yg agama 😀
seringkali kita menganggap adat adalah agama maupun sebaliknya, untuk Indonesia sepertinya agama dan adat berada pada posisi yang setara, apalagi pada masyarakat Jawa