Jangan menyalahkan orang lain
Tulisan ini saya tulis ulang dari tulisan yang dimuat majalah SWA edisi 03/XXVIII/2-15 Februari 2012 dengan judul tulisan yang sama. Tulisan yang ditulis oleh Pongki Pamungkas tersebut cukup menarik sehingga saya coba tulis ulang dengan gaya bahasa saya :D. Bagian awal tulisan ini cukup menarik, dengan memberi gambaran tentang anak kecil yang menuangkan sendiri minumannya. Pasti tumpah, dan kita pasti siap dengan kain pel untuk mengelapkannya. Menurut Pongki, proses penumpahan ini penting, dengan membiarkannya melakukan kesalahan, kita dapat mengarahkan anak, cucu, atau adik kecil kita agar tidak menumpahkan minuman lagi. Tulisan berikutnya saya kutip langsung dari majalah tersebut …,Itulah sikap terbaik bagi proses pembelajaran si kecil. Dan demikianlah sejatinya, karena inti dari hidup adalah suatu proses pembelajaran yang berkesimbungan dan tiada henti. Kebutuhan belajar, secara alami, adalah serupa kebutuhan bernapas, dalam konteks struggle for life. Kita menyebutnya sebagai perbaikan berkesinambungan atau kaizen dalam bahasa Jepang. Respon positif adalah hal mutlak yang harus kita pilih bila kita ingin berkembang menuju ke arah kehidupan positif.
Suatu konsep, dikutip oleh Jack Canfield – dalam buku Success Principles – dirumuskan secara sederhana oleh Dr. Robert Resnick, seorang psikoterapis di Los Angeles, sebagai Hasil (outcome) + Peristiwa (event < stimulus) = Reaksi (Response). Setiap kali, hasil kesuksesan atau kegagalan, kekayaan atau kemiskinan, sukacita atau frustasi, merupakan suatu hasil dari respons kita terhadap suatu peristiwa sebelumnya.
Anak kita mendapat hasil buruk dalam ujian di sekolah, misalnya merupakan suatu kegagalan. Namun, kegagalan yang merupakan bencana sesungguhnya adalah bila kita meresponnya secara negatif, dalam wujud kemarahan dan celaan. Karena, kemarahan atau celaan itu akan memperbesar kekecewaan sang anak yang sudah kecewa dengan hasil sekolahnya. Akumulasi kekecewaan ini sungguh berpotensi terhadap tumbuhnya frustasi berkepanjangan dan musnahnya spirit kepercayaan diri. Ujungnya adalah kegagalan-kegagalan lebih lanjut.
Suatu dokumen Toyota Way 2001 dari Toyota Motor Company (TMC) yang dikutip oleh Jeffrey K. Liker – dalam buku Toyota Way – menyatakan : ”Kami melihat kesalahan sebagai peluang untuk belajar. Bukannya menyalahkan orang lain, organisasi mengambil tindakan korektif dan menyebarkan pengalaman secara luas. Belajar merupakan proses berkesinambungan di seluruh perusahaan; ketika atasan memotivasi dan melatih bawahannya; ketika para pendahulu melakukan hal yang sama kepada penerusnya; ketika suatu tim di semua tingkatan berbagi pengetahuan dengan yang lain.”
Jangan menyalahkan orang lain (JMO) adalah sikap yang layak dikembangkan bukan hanya dalam organisasi pembelajar, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. JMO merupakan prakondisi dari tumbuhnya budaya kaizen, yang notabene adalah kebudayaan pembelajaran.
Prasyarat dasar tumbuhnya budaya JMO, adalah adanya pola pikir yang dalam budaya Jepang disebut hanzei. Dikisahkan dalam Toyota Way, kadangkala ibu dan ayah di Jepang mengatakan kepada anak mereka, “silahkan lakukan hanzei”. Itu adalah respon orang tua terhadap suatu kejadian bila sang anak melakukan hal yang buruk. Itu berarti sang anak harus merenungi perbuatannya, menyesali, dan memperbaiki sikapnya.
Diterjemahkan sebagai refleksi diri, Toyota akhirnya memperkenalkan hanzei kepada para manajer Toyota di Amerika Serikat pada 1994. George Yamashina yang memimpin Toyota Center di AS menuturkan, “Tanpa hanzei berarti tiada kaizen. Hanzei dalam bahasa Jepang, bila Anda harus merasa sangat, sangat sedih. Kemudian, Anda harus membuat rencana kedepan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Dan dengan tulus dan yakin, Anda tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi. Hanzei adalah pola pikir dan sikap. Hanzei dan kaizen bergandengan tangan”.
JMO sebagai komponen sikap hidup positif adalah sikap yang amat mulia dan masuk akal. Mulia, karena JMO adalah suatau falsafah penghormatan manusiawi, yang menjauhkan diri dari sikap melecehkan dan merusak (destruktif). Masuk akal, karena pengembangan sikap positif – dalam komunitas mana pun – berawal dari dalam diri anggota komunitas masing-masing, inside out thingking. Dan itulah tantangannya, peperangan terbesar adalah peperangan terhadap diri sendiri.
catatan:
Semua gambar hanya sebagai ilustrasi yang penulis ambil dari beberapa situs, gambar tersebut tidak ada pada tulisan asli di majalah SWA. Gambar diambil dengan menyebutkan sumbernya.
Leave a Reply