Froggy
Oleh: Rhenald Kasali *
Kalau tak ada perubahan, akhir 2011, masyarakat Indonesia dapat menyaksikan sebuah floatingcastle yang berdiri megah di salah satu sudut Kota BSD,Tangerang.
Kastil itu menakjubkan, indah seperti yang sering kita lihat di negeri impian. Sebuah impian yang terus mengikuti seorang anak hingga dia tumbuh menjadi dewasa, membantu orang tuanya dalam bisnis, sampai dia menjadi pengusaha dan melakukan pembaruan. Fernando Iskandar, 29 tahun, menamakan kastil indah itu sebagai Froggy. Di situ dia menanamkan impiannya yang berawal dari cerita-cerita yang dibaca dari buku-buku bergambar bacaan anak-anak.Sebuah gambar kastil yang dia sukai digunting, ditempel di lemari pakaian,di pintu kamar, dan dibawanya hingga ke kamar mandi. Namun lebih dari sekadar impian, dia pun bertindak. Seluruh uang tabungannya dari usaha-usaha yang dia rintis sebelumnya, dia tanam di Froggy. Dia mendekati Kak Seto dan menemui saya. Dia mencari tanah yang cocok dan menemukan arsitek kelas satu yang bisa menerjemahkan isi kepalanya.
Menelusuri Bakat
Adalah Jimmy Iskandar, orang tua yang hari itu penuh bahagia.Senin, 2 Agustus 2010, dia baru saja mengerti apa yang dilakukan putranya. Sejak era 1970-an Jimmy dikenal sebagai orang yang sangat ulet membangun usaha fotografi. Berkat ketekunannya itu dia berhasil memperkenalkan foto di atas kanvas yang amat diminati tokoh-tokoh masyarakat. Setiap kali saya mendatangi studionya,saya selalu menemukan foto-foto keluarga terkenal yang memilih difoto oleh Jimmy dan fotografer-fotografer andalannya di Tarzan Foto Studio.
Bahkan Tarzan Foto pula yang dipercaya Istana Negara untuk memotret kepala-kepala negara yang berkunjung ke Indonesia. Mereka harus memotret secara sempurna dalam batasan waktu yang sangat terbatas. Tentu saja Fernando dibesarkan dalam lingkungan fotografi yang sangat kental. Bedanya dia kini hidup di dunia digital yang serbacepat dan kaya bakat.Saat krisis menimpa Indonesia, dia pun tersadarkan, dia mencari mentor ke sana kemari sampai dia bertemu dengan pengusaha perempuan yang progresif,Dewi Motik.
Dia pun nyantrik (berguru), mengikuti Ibu Dewi Motik ke mana- mana,melihat bagaimana keputusan bisnis diambil.Dia menemukan sebuah dunia baru.”Di rumah saya yang lama, saya begitu besar sehingga dunia saya tampak kecil. Di luar, saya melihat dunia itu begitu besar sehingga diri saya tampak begitu kecil,”ujarnya. Bak katak yang hidup keenakan di dalam tempurungnya dia pun keluar dari zona nyaman itu. Dia meronta.
Dia pun berkenalan dengan dimensi-dimensi yang lebih luas. Dari Kak Seto, dia belajar hal baru lagi, yaitu soal talenta anak-anak Indonesia yang terkurung dalam ambisi orang lain. Dia pun menemukan faktafakta yang mengejutkan dari teman-teman di sekitarnya. Banyak orang tersesat di rimba belantara antara bakat, sekolah, dan pekerjaan. Bakatnya A, sekolahnya C, dan kerjanya E.Semuanya tidak saling berhubungan. Maka sia-sialah sekolah.
Tak pernahkah Anda melihat seorang anak berbakat melukis bersusah payah kuliah menjadi akuntan,dan saat bekerja dia lebih senang menjadi orang kreatif di biro iklan, namun istrinya mendesak agar menekuni profesinya sebagai akuntan. Tak banyak orang yang menyadari bahwa untuk berhasil seseorang harus memilih apa yang terbaik dari hidupnya. Bukankah lebih baik menjadi pelukis yang luar biasa daripada menjadi dokter atau akuntan yang biasa-biasa saja? Apakah kita menyadari hal ini?
Di era materialisme seperti saat ini orang lebih berani mengikuti arus daripada keluar dengan kekuatan dirinya. Semua ingin cepat-cepat menghasilkan ketimbang melakukan investasi pada bakatnya.Di sisi lain,kita menemukan orang-orang sukses abad ini ternyata terdiri atas orang-orang yang berani menantang arus besar itu, hidup sebagai outlier yang keluar dari kotaknya. Kak Seto menyambung.
“Apa jadinya bila seorang Albert Einstein yang senang matematika, sedari kecil dipaksa orang tuanya mengikuti American Idol? Atau apa jadinya kalau Picasso yang suka melukis dianggap bodoh karena tak senang matematika? Demikian juga dengan Michael Angelo yang senang membuat patung namun dipaksa orang tuanya menjadi dokter?” Dari kajian-kajian yang ada mengenai talenta, sekarang jelaslah bahwa pendidikan yang menyamaratakan dapat mematikan telenta.
Seperti rumput yang dipangkas sama tingginya, anakanak yang dilahirkan dengan talenta yang berbeda berteriak. Mereka hidup tertekan, tidak bisa berbicara lain selain ikut maunya orang-orang dewasa.Mereka hidup dalam pasungan dan terkungkung dalam kesulitan. Dapat dibayangkan hari tua anak-anak yang dibesarkan dalam kurungan bakat yang demikian adalah hari tua yang kering, melakukan apa yang tidak diinginkan. Hari-hari tidak bahagia,tanpa senyum,penuh keluhan.
Edutography
Lantas apa hubungannya antara kastil Froggy dengan bakat tadi? Inilah yang disambung Froggy dalam konsep “edutography”,yang memadukan kombinasi education, entertainment, dan photography. Berbeda dengan Tarzan Photo yang memotret foto kenangan, Froggy justru memotret masa depan. Froggy menggali bakat anak-anak dengan pendekatan multidimensi sampai ditemukan apa yang sesungguhnya menjadi lentera jiwa mereka.
Pekerjaan ini menjadi tanggung jawab Kak Seto. Lebih dari itu, bakat-bakat itu perlu digerakkan, saya sendiri termasuk orang yang sangat berhatihati dalam memandang bakat. Maklum saja generasi saya adalah generasi yang terkurung, sulit meletupkan energi-energi yang terpancar dari bakat yang merupakan pemberian Tuhan. Bagi orang segenerasi saya, bakat hanyalah sekadar potensi belaka.
Jadi apalah artinya mengenal bakat kita kalau potensi itu gagal “menemukan pintunya?” Tetapi bagi anak-anak saya, sejalan dengan kemajuan dalam temuan-temuan baru dan teknologi digital, saya pun mendukung eksplorasi yang tiada henti terhadap talenta-talenta hebat yang terpendam di hati paling dalam anakanak Indonesia.Lebih dari sekadar mengeksplorasi, anak-anak itu harus ditumbuhkan myelin-nya agar mereka tidak diam di tempat, melainkan terus bergerak mencari dan menemukan pintunya.
Mereka harus menyentuh, bahkan mendobrak pintu-pintu itu. Temuan-temuan terbaru di dunia digital, dibantu para pendidik terdepan,mestinya bisa membantu anak-anak itu mengembangkan mimpi-mimpinya.Pada Froggy saya menaruh harapan agar anakanak kita mampu menemukan potensi dan menggapai pintu masa depan dengan bahagia.(*)
*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI