Paradoks BBM dan Kemiskinan

Migas kembali menjadi bahan perbincangan akhir-akhir ini ketika pemerintah seakan mulai “putus asa” mengatasi masalah subsidi bahan bakar minyak. Sementara itu ketika pemerintah pusing dengan pemberlakuan pembatasan dan himbauan penggunaan BBM non subsidi, di luar sana masyarakat justru masih enjoy dengan BBM bersubsidi, tidak peduli apakah mereka bermobil ataupun bermotor. Namun keterbatasan dan keuatan masyarakat terhadap BBM non subsidi tak lepas dari daya beli masyarakat Indonesia yang masih lemah.

——-

Fatwa MUI

Pemerintah seakan mengibarkan bendera putih dalam mengatasi masalah subsidi BBM. Hal ini memberikan sinyal awal bahwa program ini menuju kegagalan. Hal ini diperkuat dengan pelibatan lembaga keagamaan untuk menyelesaikan urusan BBM. Pemerintah pun mulai memberikan kultur bahwa ketika segala daya upaya yang dilakukan telah menemui jalan buntu, maka jalan terakhir adalah memberi fatwa. Fatwa menjadi senjata pamungkas yang akan dikeluarkan terakhir kali ketika seluruh potensi telah dikerahkan dan tidak mempan. Pemerintah pun seakan menjelma menjadi sosok Prabu Suyudana yang dikelilingi oleh 1000 raja dan bala tentarannya namun tak berdaya melawan pandawa yang hanya didampingi seorang Khrisna.

Fatwa mulai lazim digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi hal-hal yang “di luar” kemampuannya. Namun pengertian di luar kemampuan tersebut harus diredefinisikan ulang, karena batas pengertian di luar kemampuan dan ketidakmampuan sangatlah tipis.

 

Pertumbuhan Ekonomi

Awal tahun ini, BPS merilis tentang angka-angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Angka-angka tersebut menunjukkan hal yang menggembirakan, di mana menurut angka yang tertera, negara ini tumbuh dan berkembang sebanyak 6.1%. Sebuah prestasi yang membanggakan di mana ketika negara-negara maju di Eropa rata-rata tumbuh tidak lebih dari 2%, kita jauh melampaui mereka dari segi kuantitas. Bandingkan juga dengan pertumbuhan ekonomi negara Asia lain seperti Jepang yang masih beriksar di 2,1% dan tahun 2011 diproyeksikan naik 3,3%. Dari segi kuantitatif kita boleh berbangga dengan negara-negara tetangga yang secara empiris dalam skala makro mereka lebih maju. Namun apakah pertumbuhan kita yang 6.1% sama kualitasnya dengan 2.1% Jepang atau Eropa? Apakah itu berarti bisa dikatakan bahwa kita lebih baik dari mereka? Tunggu dulu.

 

Absurditas Pertumbuhan

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin akan mengiang di benak-benak orang awam yang mungkin bisa memberikan sebuah kebanggaan hiperbolik bahwa kita lebih baik dari mereka. Jika kita melihat komposisi pertumbuhan ekonomi kita, maka kita akan berpikir dua kali untuk memutuskan bahwa kita lebih baik dari mereka, atau bahkan dari 10 tahun yang lalu. Seperti yang dilansir BPS, angka perumbuhan kita hanya ditopang oleh sektor konsumsi dan non tradeable sector. Hal ini sangat rentan memicu kesenjangan ekonomi.

Sektor konsumsi rumah tangga masih menjadi backbone pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sektor konsumsi ini sebenarnya disokong oleh sebagian kelompok kecil elit rakyat Indonesia yang jumlahnya tidak lebih dari 0.1% dari jumlah penduduk Indonesia. Kelompok orang sangat kaya ini menyimpan 33% seluruh asset mereka kepada sektor keuangan dalam bentuk deposito, tabungan atau investasi lain di keuangan. Merekalah yang menikmati pendapatan tertinggi karena investasi asset mereka. Jadi peningkatan pendapatan berasal dari instrument keuangan yang hanya dinikmati tak lebih dari 200 ribu penduduk. Pertanyaannya adalah, bagaimana pertumbuhan 6.1% ini bisa dikatakan berkualitas? Ironisnya sektor industri yang berorientasi penciptaan nilai tambah penyerapan tenaga kerja malah menurun. Padahal sektor ini adalah salah satu indikasi kualitas pertumbuhan ekonomi suatu negara.

 

Daya Beli Semakin Rendah

Menilik dari pertumbuhan ekonomi yang semu, di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia haya ditopang oleh sebagian kecil elit, maka jangan heran jika sebenarnya penduduk kaya di Indonesia hanya sebagian kecil saja. Jika masih ada potret kemiskinan, busung lapar, antri sembako, buruknya kesehatan, maka itulah potret sebenarnya diri kita.

Jika daya beli masyarakat masih lemah, hal itu dikarenakan kekayaan negeri ini hanya ditopang oleh sekelompok elit saja. Sementara itu, puluhan juta penduduk yang lain hidup dalam kondisi yang pas-pasan. Kalau penduduk harus membeli BBM yang harga per liternya 0,45% dari gajinya (dengan asumsi gaji 2 juta/bln), maka alokasi biaya konsumsi BBM tiap orang akan sangat tinggi. Tentu saja hal ini akan membebani penduduk yang tingkat pendapatannya masih rendah. Perlu diingat bahwa, roda perekonomian di Indonesia juga sangat bergantung kepada transportasi di mana dalam transportasi memunculkan biaya tetap bernama BBM. Jika pemerintah menggunakan lembaga keagamaan untuk membatasi penggunaan BBM subsidi, maka jangan heran jika nanti ada fatwa haram makan raskin.

Potret Kemiskinan

Jika secara kuantitatif angka kemiskinan mampu ditekan pada level 13.3% atau setara dengan 33juta penduduk, maka bagaimana mengukur angka kemiskinan secara kualitatif? Memahami angka kemiskinan ini dengan proporsional adalah salah satu tantangan kita. Kemiskinan adalah sesuatu yang sangat multidimensional dan sulit untuk diukur. Kompleksitas itu bisa disederhanakan, misalnya, dengan menganggapnya sebagai gejala ekonomi (economic poverty), gejala kualitas SDM (human poverty), atau gejala budaya (cultural poverty).

BPS menghitung kemiskinan sebagai gejala economic poverty yaitu ketidakmampuan dari sisi ekonomi yang diukur dengan pendekatan (proxy) pengeluaran makanan (equivalen 2.100 kal per orang per hari), ditambah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar non makanan (pendidikan, kesehatan dasar, fasilitas perumahan, dan sandang). Penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang nilai konsumsinya kurang dari nilai rupiah 2.100 kkal per orang per hari plus kebutuhan primer nonmakanan tersebut. Jika dasar pertimbangan yang dijadikan mengukur kemiskinan adalah hal tersebut di atas, maka secara kualtatif seharusnya orang miskin makin banyak di Indonesia.

Gejala kontradiktif adalah ketika beberapa waktu yang lalu tak lama berselang setelah pengumuman pemerintah tentang penurunan angka kemiskinan, kejadian yang memilukan pun terjadi. Satu keluarga di Desa Kapetakan, Cirebon, Jawa Barat, selama dua bulan penuh terpaksa makan nasi aking. Mereka sudah tak mampu lagi membeli beras atau makanan lain yang layak konsumsi. Bahkan di Semarang satu keluarga pun akhirnya tewas karena makanan yang ia makan beracun.

Pertanyaannya adalah, jika kita membanggakan pertumbuhan yang tinggi tersebut, pertumbuhan macam apa yang patut dibanggakan?

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *