Ini adalah cerita tentang dua model, dua gaya cara menerapkan pendidikan bagi anak. Saya ingin menekankan bahwa pendidikan dengan tujuan membangun kreatifitas anak merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pendidikan, dimanapun proses pendidikan itu terselenggara. Silahkan mengacu tulisan dari Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners”.
Mari kita mulai ….. eng ing eng ….
Seorang teman saya yang baru saja menyelesaikan pendidikan S3 di New Zealand pulang ke Indonesia di Lombok. Seorang anaknya berumur 10th dan satu lagi 7 tahun. Yang kecil ini sudah 4 tahun di New Zealand, berarti sejak TK sampai kira2 year 3 belajar di New Zealand. Tentu saja waktu pulang dia harus belajar bahasa Indonesia di samping belajar membaca dan yang lain2.
Dalam soal ulangan, suatu ketika, ada pertanyaan begini:
“Sehabis bangun pagi saya harus …….”, dijawab oleh si anak, “Sikat
gigi”. Dicoret oleh guru, menurut guru jawabannya adalah “mandi”. Guru
tidak tahu kalau sikat gigi dulu terus mandi juga bisa, pokoknya jawabannya mandi katanya. Pertanyaan berikutnya, “Setiap pagi ……
membuat sarapan pagi”. Dijawab oleh sianak, “Ayah/Bapak”. Dicoret lagi
oleh guru, jawaban yang betul adalah “Ibu” katanya. Padahal kenyataannya yang membuat sarapan pagi memang ayahnya.
Cerita lain lagi sekarang tentang anak saya. TK atau kita sering sebut
kindy di New Zealand adalah tempat bermain. Sepanjang hari anak-anak itu bermain. Alhasil sampai umur 5 anak saya belum bisa membaca. Suatu hari saya bercerita tentang “white tail spider’ sebuah serangga laba-laba yang mengandung racun tapi suka berkeliaran di rumah, bahkan suka bersembunyi di baju, kasur dsb.
Sejak itu anak saya terobsesi oleh spider, dan dimulailah riset tentang
spider. Kemana-mana dia menggunakan baju spiderman, meminta gurunya mencari gambar spider dan menceritakan berbagai jenis spider,
mengidentifikasi bentuk mata, jumlah kaki, ukuran perut dsb., bahkan
bercerita ke teman-temannya tentang white tail spider. Pada waktu kita
benar2 menemukan white tail spider di rumah, dia berteriak-teriak dan
terbelalak menyaksikan serangga yang sudah terkena hantaman sandal saya tersebut. Tapi terus terang sampai sekarang saya belum bisa menjawab pertanyaan bagaimana spider membangun rumahnya?
Suatu hari, ketika saya pulang, tiba-tiba dengan penuh excitement dia
menunjukkan saya bagaimana dia sekarang bisa menggambar spider sendiri. Saya tidak tahu darimana ide itu berasal, tiba-tiba saja dia menggambar spider. Esoknya gambar tersebut dibawa ke kindy, dan gurunya terkagum-kagum “Well done, Jeremy’, walaupun gambar itu sangat sederhana.
Nampaknya bagi guru tidak terlalu penting bagaimana bentuk gambar itu, tetapi bahwa gambar itu telah melalui proses riset dan passion tentang spider selama beberapa hari itulah yang penting.
(btw, sekarang kami sedang melakukan riset tentang Space-Shuttle dan
Concorde, ada yang mo ikut?).
waaa… nice thought pak 🙂
jadi inget bukunya Toto Chan…
*btw kalimat terakhir yang didalam kurung cukup horor…
Oya saya pernah baca bukunya Toto Chan, sekolah sekolah di Indonesia memang perlu dibuat lebih manusiawi semacam itu. 🙂
ceritanya menarik,banyak orang tua yang mungkin mengalami hal seperti ini. Banyak anak-anak yang dituntut serius padahal kreatifitas anak juga penting untuk meningkatkan motivasi belajar