Edo Yonatan Koentjoro

Dosen Universitas Dinamika

Seluas Apakah Hati Anda?

Selasa, 5 Juni 2018

“Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” – Amsal 4:23

Di satu masa, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya tampak ruwet. Anak muda itu memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam dan meminta anak muda ini untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas lalu diaduknya perlahan.

Pak Tua           :    Nak, coba minum ini dan katakana kepadaku bagaimana rasanya?

Anak Muda     :    Piuh… (sambal meludah ke samping) Pahit. Pahit sekali.

Pak Tua           :    (sambil sedikit tersenyum) Iya pahit nak. Sekarang mari kamu ikut bapak,

akan bapak tunjukkan kamu hal lainnya.

Pak Tua itu lalu mengajak anak muda ini untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu lalu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang untuk mengaduk-aduk dan tercipta riak air dan mengusik ketenangan telaga itu.

Pak Tua           :    Nak, sekarang coba ambil air dari telaga ini dan minumlah.

Saat Anak Muda itu selesai meneguk air itu, Pak Tua berkata lagi,

Pak Tua           :    Bagaimana rasanya?

Anak Muda     :    Segar.

Pak Tua           :    Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?

Anak Muda     :    Tidak, Pak. (sambil tersenyum) Koq bisa ya, Pak?

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan bersimpuh di samping telaga itu.

Pak Tua           :    Anak Muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam

garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama dan

memang akan tetap sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan akan sangat

bergantung dari wadah yang kita miliki yaitu hati kita. Kepahitan itu akan

terasa berdasarkan seberapa luas kelapangan hati kita dalam menerima setiap

persoalan dan tantangan dalam kehidupan ini. Itu semua tergantung pada hati

kita.

Pak Tua kemudian menambahkan kata-katanya,

Pak Tua           :    Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada

satu hal yang bisa kamu lakukan, yaitu lapangkanlah hatimu untuk menerima

semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu, maka

jangan pernah terkejut kalau kepahitan itu tidak akan lagi kau rasakan.

Sobat talenta, hati kita adalah wadah itu. Perasaan kita adalah tempat itu. Kalbu kita adalah tempat kita menampung segalanya. Jadi jangan pernah menjadikan hati kita itu seperti gelas yang kecil dan sempit. Tapi, mari lapangkan hati kita. Buatlah laksana telaga yang luas yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan. Bagaimana menurut anda?

Sumber: Renungan Inspirasi Talenta

 

You can leave a response, or trackback from your own site.

Leave a Reply