Malam menjelang pergantian tahun baru 2016 dimeriahkan masyarakat dengan pesta kembang api yang indah. Suara petasan juga terdengar di sana sini meskipun sudah dilarang aparat kepolisian. Entah disadari atau tidak, suara petasan dan kembang api pada pergantian tahun kali ini, menandai pula dimulainya era baru bagi Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yaitu mulai diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) atau disingkat dengan MEA.
Konferensi tingkat tinggi (KTT) ke-9 ASEAN di Bali 2003 telah digagas sebuah kawasan integritas ekonomi kuat antar negara Asia Tenggara yang akan dimulai pada 2020. Mengingat tekanan persaingan global terutama dari China dan India yang semakin kuat, maka pada KTT Manila 2007 disepakati percepatan pemberlakuan MEA mulai 2015.
Dalam kesepakatan tersebut, tertulis empat pilar utama dalam mencapai tujuan MEA yaitu: 1. Single market and production base, 2. Competitive economic region, 3. Equitable economic development, dan 4. Integration into the Global Economy. Untuk memperkuat keempat pilar tersebut, diterapkan pula konsep free flow of goods, services, investment, capital, dan skilled labour (ASEAN, 2014) untuk menghapus segala bentuk hambatan perdagangan demi kesejahteraan kesepuluh negara anggota ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei, Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam.
Pada awal penerapan MEA memprioritaskan 12 sektor yaitu perawatan kesehatan (health care), turisme (tourism), jasa logistik (logistic services), e-ASEAN, jasa angkutan udara (air travel transport), produk berbasis agro (agrobased products), barang-barang elektronik (electronics), perikanan (fisheries), produk berbasis karet (rubber based products), tekstil, dan pakaian (textiles and apparels), otomotif (automotive), dan produk berbasis kayu (wood based products).
Pertanyaan yang sering kita dengar begitu MEA didengungkan adalah sudah siapkah kita menghadapi MEA? Banyak yang optimis, namun jauh lebih banyak yang pesimis. Coba kita tengok indikator Human Development Index (HDI) 2013 yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP). Indonesia dengan segala kekayaan sumber daya alam yang berlimpah ruah, memiliki HDI rendah yaitu 0,62 yang dikategori medium human development. Indonesia hanya sedikit unggul Timor Leste, Myanmar dan Kamboja, namun kalah jauh dengan Malaysia (0,76), Singapura (0,89) dan Brunei (0,85). Tengok pula Global Competitiveness Index (GCI) 2013–2014 yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) dimana Indonesia menduduki peringkat 38 dari 148 negara. Lalu bagaimana denganCorruption Perceptions Index (CPI) 2013 yang dikeluarkan Transparency International? Ternyata Indonesia menempati peringkat 114 dari 177 negara yang disurvei. Artinya korupsi di negara kita masih sangat tinggi. Bagaimana pula dengan kemampuan teknologi Indonesia? Berdasarkan hasil survei Global Growth Competitiveness Index, Indonesia berada di peringkat 46, masih tertinggal jauh dari Thailand (39), Brunei Darussalam (28), Malaysia (21), apalagi Singapura yang menempati urutan ke 2. Rendahnya kontribusi teknologi ini menyebabkan rendahnya efektifitas, efisiensi dan produktivitas proses bisnis perusahaan. Berdasarkan keempat indikator tersebut, Indonesia diragukan mampu mempersiapkan diri dengan baik. Padahal Philip Kottler, seorang pakar marketing, menyatakan bahwa sebuah bangsa dapat berkembang maju di era globalisasi apabila mampu menyiapkan pembangunan infrastruktur fisik, infrastruktur teknologi, kekuatan human capital dan dukungan infrastruktur untuk usaha kecil menengah dengan baik.
Terdapat tiga hal penting yang dapat memberi peluang sekaligus tantangan bagi kita dengan diterapkannya MEA, yaitu: 1. Daya saing perusahaan semakin tinggi, 2. Pangsa pasar yang semakin luas, dan 3. Meningkatnya persaingan tenaga kerja. Dalam hal daya saing perusahaan, terjadi peningkatan persaingan antar perusahaan se-ASEAN yang semakin tajam. Diperkirakan banyak perusahaan asing yang akan berlomba berinvestasi di Indonesia, demikian pula terjadi di negara lain. Hal ini tentu berdampak pada terbukanya peluang kerja yang sangat besar bagi para tenaga kerja profesional. Namun tantangannya adalah di level manakah tenaga kerja kita mampu bersaing dengan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Jangan sampai kita hanya menjadi bawahan dari para manajer dari bangsa asing.
Dengan diterapkannya MEA, maka pangsa pasar yang semula hanya sejumlah 250-an juta penduduk Indonesia, sekarang meluas mencapai lebih dari 630 juta penduduk se-ASEAN. Hal ini menjadi peluang besar bagi para entrepreneur muda yang kreatif dan inovatif untuk meraih peluang pasar. Tantangannya adalah kemampuan para entrepreneur untuk belajar akan budaya masing-masing negara agar produk dan jasa yang ditawarkan dapat diterima dengan baik di negara tujuan. Masing-masing negara memiliki kearifan budaya yang dapat mempengaruhi penerimaan barang maupun jasa yang ditawarkan.
Bagaimana dengan meningkatnya persaingan tenaga kerja? Inilah tantangan terbesar dihadapi masyarakat maupun pemerintah Indonesia. Mengacu Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia sampai Agustus 2015 tercatat sebanyak 7,56 juta orang atau 6,18%. Persentase ini menunjukkan peningkatan TPT dibandingkan Agustus tahun 2014 sebanyak 5,94%. Jumlah pengangguran ini menunjukkan bahwa masih banyak tenaga kerja yang sulit bersaing dengan sesama tenaga kerja kita sendiri. Bisa dibayangkan, bagaimana mereka harus bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain. Di era MEA, mengandalkan skill saja tidak lagi cukup. Sertifikasi dan ijazah pendidikan tinggi menjadi kebutuhan tak terelakan untuk bersaing dengan tenaga kerja asing. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk meningkatkan standardisasi sertifikasi berskala internasional di Indonesia.
Di era globalisasi termasuk MEA sekarang ini, peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat penting di berbagi bidang baik ideloogi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, serta bidang lainnya. Penerapan TIK di banyak perusahaan membuka peluang besar bagi siapapun yang memiliki keahlian TIK. Penguasaan TIK menjadi sangat krusial dalam daya saing dengan tenaga kerja dari negara lain.
Dengan ditunjang soft skill kepribadian yang bisa dipercaya (kejujuran), perilaku santun, disiplin, mau bekerja keras, kreatif dan inovatif, serta soft skill lainnya, niscaya kita tidak lagi hanya menjadi tenaga kerja non terampil alias bawahan dari tenaga kerja asing. Tentu saja semua itu perlu ditunjang dengan kemampuan komunikasi dalam bahasa internasional atau bahasa daerah setempat. Tercatata di Thailand, pelatihan orang belajar bahasa Indonesia semakin meningkat. Di Vietnam telah muncul pelatihan bahasa Jawa bagi para tenaga kerja. Artinya tenaga kerja di negara tetangga kita telah bersiap diri untuk menyerbu ke negara kita. Bagaimana dengan persiapan kita sendiri?
Pada akhirnya, apapun yang terjadi, siap tidak siap, gong MEA telah didengungkan mulai 1 Januari 2016. Akankah kita hanya menjadi penonton dari sekian banyak peluang usaha yang tersedia? Hanya menjadi penonton kesuksesan tenaga kerja dari negara lain? Tentu saja kita semua termasuk pemerintah tidak mengharapkan hal tersebut terjadi. Dalam setiap perubahan, selalu muncul tantangan disertai peluang bagi kita. Peluang dan kesempatan masih terbuka lebar bagi kita untuk sukses. So, jadilah pelaku usaha di era MEA. Jangan sekalipun berpikir hanya menjadi penonton.
Surabaya, 20 Januari 2016.
Artikel ini dimuat di Stikom Surabaya News