Dunia Lain
Dalam filosofi Cina, terdapat istilah “Im dan Yang”. Dua istilah yang bertolak belakang. Utara dan Selatan, Barat dan Timur, kebaikan dan kejahatan, laki-laki dan perempuan, penonton dan pemain dst. Dalam dunia olahraga, pada umumnya dunia penonton lebih banyak dari dunia pemain. Sebagai contoh olah raga sepakbola dalam setiap kesebelasan hanya terdapat 11 pemain. Mereka memiliki dunianya tersendiri. Dunia dimana mereka mencoba saling bekerja sama mencapai tujuan kemenangan sebagai sebuah tim. Dunia kemenangan yang ingin direngkuhnya. Dan tim yang lainnyapun memiliki dunia yang hampir sama. Kedua pun saling menyerang demi kemenangan tim dan kesebelasannya. Berbeda dengan dunia penonton. Dunia yang dengan mudah penuh dengan semarak. Namun disatu sisi dunia yang dengan mudah menghujat, mencacimaki, bahkan sanggup melahirkan fandalisme. Memang dua buah dunia yang berbeda. Dunia pemain dan dunia penonton.
Penonton memandang dari duninya tersendiri. Mereka bermain dengan cara dan polanya, sehingga tidak menutup kemungkinan seolah-olah penonton menjadi lebih hebat dari para pemain. Padahal para pemain harus mengalahkan dunianya sendiri disamping tuntutan menunjukkan pada dunia akan kehebatan dalam memperjuangkan cita-cita dan impian mereka. Sayangnya “Champion” hanya ada satu. “Juara” itu hanya ada satu yang berhak menyandangnya. Tidak ada juara 1, juara 2 dan juara 3. Kalau istilah “Strata” atau “Peringkat” memiliki urutan, yaitu peringkat 1, peringkat 2 dan peringkat 3.
Dalam konteks sepakbola ataupun olahraga dan yang lainnya, seringkali dunia pemain yang menjadi barometer. Penonton memandang dari sudut pandang diri. Atau menggunakan istilah Tagline di atas, memandang dari dunia lan. “Memandang Dari Dunia Lain” merupakan sesuatu tindakan yang acapkali dan mungkin sudah menjadi kebiasaan dalam diri setiap orang. Sesuatu hal yang sangat langka ketika proses “Memandang Dunia dilakukan Dari Dunia Mereka”.
Memandang dari dunia lain semestinya dilakukan secara spesifik dengan melibatkan berbagai unsur, sehingga mampu menghasilkan pandangan yang relatif mendekati esensinya dan tidak terjebak pada lingkaran yang berakhir pada fenomena atau gejala yang nampak.
Dalam ilmu komunikasi, perspektif komunikasi mendapatkan tempatnya ketika komunikasi itu sendiri akan dilakukan. Dalam kerangka komunikasi, prespektif merupakan sudut pandang yang spesifik dan beragam dalam melihat fenomena (sesuatu atau gejala yang dapat dilihat) tertentu yang hendak dikaji dengan melibatkan berbagai unsur-unsur yang dapat membedakan teori yang satu dengan teori yang lainnya. Perspektif memungkinkan terjadinya perbedaan teori dalam mengkaji dan menafsirkan gejala yang ada.
Dengan adanya perspektif, pengkajian sebuah fenomena menjadi lebih dalam dan luas, karena perspektif selalu didasarkan pada teori-teori yang mendahuluinya, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Semakin luas pengetahuan dan pemahaman teori-teori yang dimiliki, maka kajian, bahasan dan analisa seseorang akan menjadi semakin dalam.
Peribahasa mengatakan “dunia tidak selebar daun kelor”. Dan tidak ada daun kelor yang selebar dunia, kecuali ketika dunia itu dibatasi oleh pengetahuan dan pemahaman diri tanpa melihat, bahwa dunia itu sangat luas, spesifik dan beragam.
Bersambung…
Leave a Reply